Monday, January 14, 2013

gulaku

"dalam pekat kopimu tak bergula
ada waktu yang terasa tak berbatas
bersyair di depan matamu
mengawasi kedip dan membatin kagum
dalam diameter kelopak mataku membuka
kata-katamu tanpa pemanis
 seperti kopi yang tidak pantas dilabel manis"


teman terbaik menenggak segelas kopi adalah obrolan panjang tanpa obralan atau senyuman idiot saling menatap dan latte-ku nyaris tidak butuh ekstra gula, tatapanmu sudah menawar pahit.



naa

Sunday, January 13, 2013

cabut ubi


Ada ratusan cerita cinta yang pernah saya dengar, beberapa dialami sendiri, beberapa diceritakan lewat film, buku, mulut-mulut orang bahkan lewat mimpi. Ratusan ending  dan ratusan klise. Saya selalu menyukai sad-ending, di setiap cerita cinta fiktif macam apa pun, sad-ending tidak pernah menumbuhkan senyum selebar badut atau membiarkan kita berkhayal lebih indah. sad-ending memukuli kita supaya realistis dan membawa pulang puluhan pikiran setelah meninggalkan bioskop.
Salah satu pikiran yang rutin saya bawa pulang atau menggantung di kepala sesudah membaca cerita cinta dengan sad-ending, sering kali adalah; bagaimana mereka bergerak kembali ke kehidupan masing-masing setelah berkali-kali berusaha mencampurkan kehidupan mereka? Sebenarnya bagaimana cara menjalankan kalimat ‘Tidak dapat hidup tanpa kamu”?

Dalam salah satu cerita cinta kecil yang saya tahu, ada dua orang yang bertemu dan menghabiskan waktu berbicara sejak bangun pagi sampa kembali tidur menjelang pagi. Tanpa sengaja menemukan kenyamanan, jembatan lain untuk hati supaya jatuh bagi satu sama lain. Laki-laki itu menyukai perempuan itu dengan berbagai alasan, dan perempuan itu menyukai laki-laki itu karena segala alasan yang ia percaya membuatnya merasa sedit lebih baik dalam hidupnya yang mulai didereti kebosanan nyaris mendatar. Entah siapa yang lebih menyayangi siapa, namun di dalam cerita cinta kecil yang saya tahu, harus diputuskan selesai setelah lewat berbulan-bulan penuh tanya.

Setelah melalui drama menyayat hati yang saya nikmati, dialog-dialog manis dan permohonan untuk tidak pergi dari laki-laki itu yang membuat bibir terkatup rapat, perempuan itu lumpuh sebentar menghadapi handphone yang berhenti berkedip merah dan mulai sadar hatinya terasa seperti ubi yang baru dari tercabut dari tanah, terasa bolong dan kosong sedikit.  

Perempuan itu tidak pernah sampai di persimpangan klise untuk memilih, serupa dalam cerita cinta segitiga, sedangkan laki-laki itu pun berhenti dan dengan berat terikut janji saling melupakan. Tidak pernah ada pertanyaan klise ‘bagaimana saya bisa hidup tanpa kamu?’  karena cinta sebesar apa pun tidak akan pernah menyatukan nafas dua orang, tidak ada ketergantungan yang mematikan seperti yang terjadi pada kembar siam.

Dalam cerita cinta kecil yang saya tahu, tidak pernah ada mimpi yang dibagi dan hasrat yang dipinjamkan, mereka seolah berkawan kenyamanan dan saling menyukai kemudian memutuskan berhenti sebelum segala sesuatu menjadi saling menyakiti dan untuk alasan yang mereka buat masing-masing. Yang saya dengar terakhir, perempuan itu menulis kata-kata dan puisi-puisi pintu darurat lebih baik lagi setelah menikmati perasaan tercabut ubinya.  Tidak ada air mata, hanya sad-ending yang tidak pernah disayangkannya. Mengikhlaskan membuatnya berdamai dengan kenangan yang sesekali membekukan pikiran setiap teringat detail tentang cerita cinta kecil itu.

Saya tidak pernah lagi mendengar tentang laki-laki itu, tapi saya pun berharap dia menikmati sad-ending ini seperti saya dan perempuan itu, mungkin lebih sukar karena laki-laki itu yang diminta pergi, tapi suatu hari kenangan yang pernah terjadi tentu akan membuatnya tertawa kecil karena biar bagaimana pun, waktu mengurangi kadar kesakitan.

Pikiran yang saya bawa pulang setelah mendengar cerita cinta kecil yang saya tahu itu; bukanlah pikiran perandaian bagaimana bila mereka memutuskan bersama dan melangkahi batas kewajaran yang mereka buat, tapi bagaimana cara mereka kembali pada kenyataan? Bagaimana cara mereka menyimpan kenangan yang sudah dibuat? Dan bagaimana mereka menepati janji yang dibuat diam-diam untuk saling menyapa jika sudah waktunya bertemu? Di suatu tahun, di suatu tempat, setelah semua perasaan kembali ke titik nol, seperti apa peempuan itu akan tersenyum dan menyapa?

Berkali-kali pikiran-pikiran itu berterbangan di dalam kepala saya dan pada akhirnya saya menanyakan jawabannya pada perempuan itu, yang sudah mencoretkan puluhan puisi di bukunya tentang cerita cinta kecil yang saya tahu. Terjawab sudah, perempuan itu menyusutkan kenangannya menjadi benda kecil berupa cendera mata bagi pikirannya, dan menghapus semua jejak laki-laki itu dari memory  semua hardware dan menyisakan sedikit di messenger yang tak pernah dibukanya serta tiga buah lagu dari dua band dan satu DJ, dia bilang akan tersenyum kecil saja bila bertemu laki-laki itu, dia tidak mau tersenyum lebar. Siapa tahu.... laki-laki itu tidak mengenal atau urung menyapanya ia bisa segera menyembunyikan senyum dan pura-pura tidak melihat juga kalau senyumnya tidak lebar.

Happy-ending di dalam cerita fiktif akan membuat senyum super dan hati terasa berbunga, tapi berlalu tanpa membuat saya berpikir. Berkat ratusan cerita cinta yang saya nikmati dan beberapa bentuk sad-ending yang saya ketahui, membuat imajinasi dan kearifan saya tergelitik dan, somehow, membuat saya merasa hidup saya seperti adegan film.  Atau mungkin...saya harus sedikit mengurangi buku dan film cinta yang terlalu sentimentil!

Sambil menulis tulisan ini saya mendengarkan lagu lama dari album kedua Savage Garden The Lover after Me yang terasa pas menjadi soundtrack tulisan ini. Mereka bilang : ever since you’ve been gone, the lights go out the same, the only different is you call another name to your love, the lover after me.. mungkin, seberagam apa pun kisahnya dan ending-nya, segala sesuatu tetap akan berlangsung sama saja dengan alur berbeda dan sedikit twist, karena yang terpenting bukan kisahnya atau ending –nya, tapi nama siapa yang kita sebut entah dengan penuh cinta atau penuh sakit hati.
Mungkin loh ya...


naa