Sunday, May 29, 2011

keledaimu

saya pikir saya akan selalu jadi teman terbaik bagi teman-teman saya, tapi ada juga yang akan selalu harus saya lepaskan. Pernah ada teman yang saya buang atau saya khianati, tapi belum ada teman yang berkatnya saya tumbuh dewasa, namun setelah saya dewasa saya (entah dalam wujud apa) mungkin tidak lagi cukup kompleks untuk ditemani.

saya memahami, atau, berusaha keras memahami putaran kedekatan ini, dan mengakui bahwa ada saat-saat terbaik dalam hidup saya yang tidak dapat dipaksakan selalu berimbang. Mengesampingkan fakta bahwa pertemanan menempati bagian cukup besar di rongga tengkorak ini, saya berusaha untuk bersyukur untuk momen-momen kelam dan tolol dan penuh komplikasi yang pernah dipinjamkan-Nya lewat teman-teman malam saya.

Imajinasi adalah kemampuan yang paling dapat diaplikasikan saat ini, waktu boleh merampas hari-hari yang seakan tidak pernah redup di masa lampau, waktu boleh menuakan usia dan mengkelukan lidah saya saat bertemu teman saya yang dulu pernah berpegangan tangan dengan saya saat kami menangis dalam kecepatan 140 km per jam di tengah malam, menangisi dorongan-dorongan nasib yang akan melontarkan kami masing-masing ke pilihan-pilihan yang membuat jarak yang akan mengangkangi, saya tetap akan berimajinasi bahwa teman-teman terbaik tidak pernah pergi, mungkin mereka akan berhibernasi berpuluh-puluh bulan, dan mungkin mereka juga menyimpan saya dalam bentuk percikan impuls yang terbenam di lobus temporalis tempat ingatan tersimpan.

Saya benci belajar ikhlas, dan nyaris selalu diiris-iris karena saya harus terus mengulang kelas belajar ikhlas setiap kali saya dihampiri perubahan, namun saya berjanji pada diri saya untuk menyeret badan saya dan menunggu hari berikutnya, dalam bentuk pertemanan berikutnya, atau pun pertemanan lama yang bertransformasi. Saya hanya membagi apa-apa yang saya pikir pantas saya tulis di sini, karena sejak dimulainya periode damprat-mendamprat tanpa ampun melawan putaran kehidupan saya, saya mulai sulit menangis, padahal menangis adalah terapi terbaik saya, maka saya berbagi di sini dan berharap seorang teman membaca dan mengerti, dan kalau tidak mengerti dan menjadi berang, saya tetap akan bangga padanya dalam bentuk apa pun penampakan saya kini di kepalanya.


naa

(dibuang tanpa sebab atau mungkin untuk alasan yang terlalu susah saya cerna)

Friday, May 20, 2011

kamu kok jerawatan sih?

Suatu pagi saya sedang bertugas di lapangan badminton, main dokter-dokteraan mengenakan jas putih rapi terbaru. Lalu datang seorang ibu dengan tahi lalat besar di jidad, mengenakan baju coklat pegawai negeri.

Ibu itu entah siaapa, karena saya cuma tau nama, tidak pernah tau tentang riwayat hidupnya dan bagaimana bisa tahi lalat besar itu tumbuh di situ.

Tidak mengejutkan kalau saya menyadari kehadiran ibu itu dalam hidup saya selama bertugas beberapa minggu ini di puskesmas yang konon sudah terkenal teladan seantero DKI jakarta, karena ibu itu nyentrik, sepatu merah-kalung merah-gincu merah mencolok-celak versus eyeliner tebal. Seperti saya ingat menggarisi kata demi kata di textbook saya jaman kuliah dulu. Harus 3 kali, baru puas.

Saya ini juga perempuan dengan mulut pedas seperti kodrat saya sebagai perempuan, jadi penampakan semacam ini, tentu menggelitik bibir, atau, minimal batin, untuk menertawakan.

Anyway,

Kembali ke lapangan badminton, ibu ini pun tiba-tiba duduk di samping saya. Dalam catatan sejarah hidup saya, itu lah kali pertama dia bicara pada saya,

“Kok jerawatan sih? Berobat dong..”

Bukan “nama kamu siapa”

Atau “dari universitas ini ya?”

Atau “sudah berak belum pagi ini?” (pertanyaan ini tentu akan aneh, tapi percayalah, ini lebih sopan ditanyakan)

Mari tidak usah membahas apa jawaban saya, karena dengan penampilan muka saya yang memang jerawatan (terpaksa mengikuti anekdot umum) saya sih sudah biasa mendengar hal itu. Kadang-kadang masih suka sebal, dan sekali ini malah merasa ajaib.

Ini adalah paradigma klasik kronik di Indonesia. Jerawatan adalah penyakit, saya yang sudah mau masuk tahun keenam di sekolah dokter-dokteran tidak membantah hal ini, tapi pandangan orang mengenai penyakit ini tidak seperti kita memandang penyakit lain, seperti kaki gajah misalnya (saya rasa tidak akan ada oknum yang datang ke pasien penderita kaki gajah dan berkata “kok bengkak sih kakinya, berobat dong!”) padahal penampakan kaki gajah lebih jelek dari penampakan jerawat. Tapi itu cuma kaki, bukan wajah.

Mungkin karena wajah adalah bagian yang paling mudah terlihat, dan dalam paradigma ini, wajah dianggap sebagai gambaran strata. Yang jerawatan, dan yang tidak jerawatan. Strata ini pun berlaku di salon, karena yang jerawatan akan dapat tambahan kata-kata dari si tukang make up “mbak nya foundation nya musti lebih tebal nih, nutupin bopeng-bopengnyaah”. Dan ini bagi saya menyedihkan, bukan karena untuk sebagian orang kata-kata ini menyakitkan, tapi karena kedangkalan dari anggapan bahwa jerawatan itu salah sampai harus diprotes demikian, bukan jerawatan itu sebagai penyakit.

Seperti, saya tidak akan mengatakan pada ibu dengan tai lalat besar di jidad itu : “bu, coba ibu ngaca 3 kali seperti lagi ambil wudhu, sebelum berangkat kantor, apakah asesoris-asesoris itu matching dengan tahi lalat ibu”, tentu tidak kan? Betapa pun janggalnya penampakan ibu itu di mata saya, karena, di samping saya yakin dia akan meludahi pipi saya yang ada jerawat batu kalau saya berkata begitu :p

itu adalah seleranya dalam berpakaian, karena tahi lalat besar dan salah posisi itu pun adalah penyakitnya. Saya tidak berhak memprotes penyakitnya. Karena saya berani taruhan, hem apa lagi ya, ah, seporsi somay ikan sapu-sapu asongan, ibu itu tentu tidak pernah menginginkan tahi lalat besar itu diletakkan di situ.

Proteslah pada sesuatu yang memang dikerjakan orang itu, jangan pada apa-apa yang sedang dicobakan Tuhan pada Nya (dengan asumsi, jerawatan = penyakit = cobaan Tuhan)

selamat merenung!

naa

aku lewat jalan rumahmu magrib tadi

"Aku lewat jalan rumahmu magrib tadi

Masih dengan keramaian jalanan kampung yang biasa

Mataku masih jatuh pada ban mobil tetanggamu yang sama

Yang sudah kulakukan sejak 3 tahun yang lalu


Aku ingat melewati jalan ini dengan berganti-ganti perasaan

Saat-saat aku marah atau lega

Saat-saat mengumpat dan bermulut binatang

Ada waktu aku berdebar-debar akan bertemu keluargamu

Ada waktu kita pernah saling berteriak selama melintas jalan itu

Lebih banyak lagi waktu perasaanku kacau balau


Aku lewat jalan rumahmu magrib tadi

Sudah banyak perubahan di sana-sini

mataku sudah menatap rumah-rumah yang mulai pudar catnya

yang dulu sering kuperhatikan sejak 3 tahun yang lalu

aku masih ingat rasanya lewat jalan itu lagi tadi

saat-saat aku tidak lagi berbelok ke arah rumahmu

saat-saat aku hanya melihatnya sekilas lewat spion tengahku

ada waktu aku menangis teringatmu saat melintas di sana

ada waktu aku lebih banyak menghindar dan memilih memutar

tapi tadi aku tidak melakukan itu

waktu-waktu yang berat sudah berlalu

dan aku cukup lega kita pura-pura saling tidak tau

setiap kali kita berpapasan di jalan itu"


Selamat tengah malam, folks,

ini adalah puisi yang saya tulis (kalau tidak salah) tiga tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah melewati periode hidup yang saya sebut "The Broken Brain". Ada saat-saat logika runtuh dan otak sepertinya sedang rusak, dan ada yang bilang itu namanya sedang cinta karena cinta tidak bisa pakai otak (mengutip anekdot umum). Saya berani traktir baso moncrot di dekat rumah saya kalau ada orang yang tidak pernah melewati fase ini. karena kita semua rasanya pernah tergila-gila, dalam level dari 1 sampai 1000.

1000 artinya tidak waras, 1 sampai 10 bagi saya masih wajar. saya pernah di 900, yang saya maknai : tidak ada orang lain yang saya sayangi dalam hidup saya saat itu yang mampu membuat saya menangis hampir setiap hari.

Kalau kamu?


naa