Friday, May 20, 2011

kamu kok jerawatan sih?

Suatu pagi saya sedang bertugas di lapangan badminton, main dokter-dokteraan mengenakan jas putih rapi terbaru. Lalu datang seorang ibu dengan tahi lalat besar di jidad, mengenakan baju coklat pegawai negeri.

Ibu itu entah siaapa, karena saya cuma tau nama, tidak pernah tau tentang riwayat hidupnya dan bagaimana bisa tahi lalat besar itu tumbuh di situ.

Tidak mengejutkan kalau saya menyadari kehadiran ibu itu dalam hidup saya selama bertugas beberapa minggu ini di puskesmas yang konon sudah terkenal teladan seantero DKI jakarta, karena ibu itu nyentrik, sepatu merah-kalung merah-gincu merah mencolok-celak versus eyeliner tebal. Seperti saya ingat menggarisi kata demi kata di textbook saya jaman kuliah dulu. Harus 3 kali, baru puas.

Saya ini juga perempuan dengan mulut pedas seperti kodrat saya sebagai perempuan, jadi penampakan semacam ini, tentu menggelitik bibir, atau, minimal batin, untuk menertawakan.

Anyway,

Kembali ke lapangan badminton, ibu ini pun tiba-tiba duduk di samping saya. Dalam catatan sejarah hidup saya, itu lah kali pertama dia bicara pada saya,

“Kok jerawatan sih? Berobat dong..”

Bukan “nama kamu siapa”

Atau “dari universitas ini ya?”

Atau “sudah berak belum pagi ini?” (pertanyaan ini tentu akan aneh, tapi percayalah, ini lebih sopan ditanyakan)

Mari tidak usah membahas apa jawaban saya, karena dengan penampilan muka saya yang memang jerawatan (terpaksa mengikuti anekdot umum) saya sih sudah biasa mendengar hal itu. Kadang-kadang masih suka sebal, dan sekali ini malah merasa ajaib.

Ini adalah paradigma klasik kronik di Indonesia. Jerawatan adalah penyakit, saya yang sudah mau masuk tahun keenam di sekolah dokter-dokteran tidak membantah hal ini, tapi pandangan orang mengenai penyakit ini tidak seperti kita memandang penyakit lain, seperti kaki gajah misalnya (saya rasa tidak akan ada oknum yang datang ke pasien penderita kaki gajah dan berkata “kok bengkak sih kakinya, berobat dong!”) padahal penampakan kaki gajah lebih jelek dari penampakan jerawat. Tapi itu cuma kaki, bukan wajah.

Mungkin karena wajah adalah bagian yang paling mudah terlihat, dan dalam paradigma ini, wajah dianggap sebagai gambaran strata. Yang jerawatan, dan yang tidak jerawatan. Strata ini pun berlaku di salon, karena yang jerawatan akan dapat tambahan kata-kata dari si tukang make up “mbak nya foundation nya musti lebih tebal nih, nutupin bopeng-bopengnyaah”. Dan ini bagi saya menyedihkan, bukan karena untuk sebagian orang kata-kata ini menyakitkan, tapi karena kedangkalan dari anggapan bahwa jerawatan itu salah sampai harus diprotes demikian, bukan jerawatan itu sebagai penyakit.

Seperti, saya tidak akan mengatakan pada ibu dengan tai lalat besar di jidad itu : “bu, coba ibu ngaca 3 kali seperti lagi ambil wudhu, sebelum berangkat kantor, apakah asesoris-asesoris itu matching dengan tahi lalat ibu”, tentu tidak kan? Betapa pun janggalnya penampakan ibu itu di mata saya, karena, di samping saya yakin dia akan meludahi pipi saya yang ada jerawat batu kalau saya berkata begitu :p

itu adalah seleranya dalam berpakaian, karena tahi lalat besar dan salah posisi itu pun adalah penyakitnya. Saya tidak berhak memprotes penyakitnya. Karena saya berani taruhan, hem apa lagi ya, ah, seporsi somay ikan sapu-sapu asongan, ibu itu tentu tidak pernah menginginkan tahi lalat besar itu diletakkan di situ.

Proteslah pada sesuatu yang memang dikerjakan orang itu, jangan pada apa-apa yang sedang dicobakan Tuhan pada Nya (dengan asumsi, jerawatan = penyakit = cobaan Tuhan)

selamat merenung!

naa

1 comment:

  1. setuju na,, sama : orang lain ga tau kalo gw udah berobat.. tapi bilangnya gw kurang perawatan.
    F**k

    ReplyDelete