Friday, April 27, 2012

quid pro quo


Folks,
seminggu ini saya pulang malam terus, dan dimarahi mama saya. Menyalahi keilmuan saya sebagai dokter, saya yang sedang batuk berkaing-kaing ini malah tidak banyak istirahat. Pun, weird luck saya sedang nafsu-nafsunya menggumuli saya, seperti yang sudah pernah saya tulis. Beberapa kejadian di minggu ini seperti di luar kuasa saya, tapi lagi-lagi, saya tidak suka pakai kata apes, karena setiap hal pasti terjadi untuk suatu alasan.
I am gonna lose some. Someone. Some things. Some times, somehow. Saya akan kembali membenturkan kepala saya dan mendapati ada ceruk besar terkerok dari hidup saya. Saya sangat sedih karena saya tidak bisa berkuasa menceritakan logika dan bagaimana saya berpikir tentang segala kehilangan ini karena menyangkut seorang individu, dengan cara berpikir dan kedalaman emosinya sendiri. Yang terbaik yang dapat saya lakukan adalah (hasil brainstorming dengan seorang teman) membangun defens agar arus emosi itu tidak mencederai mental saya dan mencoba berbaikan dengan keadaan yang akan masih terasa pahit sampai mungkin akhir tahun ini, sepahit obat batuk cina rasa kecoa yang harus saya minum (hasil pemikiran sendiri). Tapi percayalah! Saya selalu yakin dan sudah berdoa di rumah-Nya bahwa setiap orang yang membenci saya dan mengatai saya jahat hanyalah sedang marah dengan cara yang tidak benar dan dia belum mengenal saya dengan baik. Dan pada dasarnya semua orang itu baik, setidaknya bagi saya dan pikiran naif saya ini.
Kembali bicara tentang kehilangan : saya akan menyelesaikan urusan saya di Jakarta dalam beberapa minggu ini, dan bersiap kembali menghadapi masa depan saya, menjadi dokter. Periode transisi sudah selesai, bermain-main dan berlibur, dan magang 3 bulan demi menumpuk dana liburan akhirnya akan sampai di kata cukupnya. Saya akan kehilangan waktu bersama surga pribadi saya yaitu teman-teman sehidup sebahagia saya, dan mengucapkan selamat tinggal pada tunggangan roda empat yang bocel kebanggaan saya itu, dan harus angkat kaki pindah pulau. Saya akan kehilangan apa-apa yang memberi saya kenyamanan dan habis sudah masanya saya menjadi anak manja yang menghentak-hentakkan kaki untuk melawan keadaan, tidak ada yang lebih baik saya lakukan selain mengemas barang saya, menyudahi perhutangan saya dengan siapa pun di sini dan mengenakan jas putih saya lagi dan menghadapi episode berikutnya. Saya sudah besar dan tidak bisa kembali menjadi kecil, baik ukuran baju atau pun otaknya.

I am gonna lose some. But i’ll get some.

Nevertheless, God never take some things without giving you any. Saya mungkin kehilangan hubungan pacaran yang menyenangkan dan super impian banyak orang. Tapi saya mendapat teman yang tidak sengaja mendengarkan saya. Saya selalu menyayangi dan menghargai pertemanan sebagai buah pikiran untuk memperkaya hidup saya. Dan menemukan teman bagi saya berarti menemukan harta. Saya mungkin akan kehilangan cara untuk mempertahankan hubungan pertemanan seperti yang sering terjadi selama ini, tanpa memikirkan masalah singkat atau panjang pertemanan itu, saat ini mendengar dan didengarkan oleh teman adalah hal terbaik yang bisa saya hadiahi bagi diri saya sendiri. Seseorang yang akan mengatakan banyak hal baik dari perspektif yang tidak akan terjangkau oleh saya karena mata saya yang cuma dua ini. Mungkin saya berlebihan senangnya, tapi tidak apa-apa, membahagiakan diri sendiri itu penting! Dan imajinasi saya cukup hebat untuk mampu membuat diri saya gembira tanpa sebab!

Well i might get less than what i lose, but at least i get some.

Dan oh ya, kenapa saya membuka tulisan saya dengan narasi dimarahi mama karena sering pulang malam, karena mama saya dan banyak orang tidak mengerti apa yang saya kerjakan kalau saya pulang malam. Saya mengobrol. Mendengar dan didengarkan. Belajar dan dipelajari. Menangis dan ditangisi. Waktu mungkin musuh besar saya karena sering gagal memecut pantat saya yang sering duduk berjam-jam di depan gelas kopi dan seolah tidak ingat pulang. Karena saya mencintai teman-teman saya dan berada di dekat mereka pada saat hidup saya sering betul memerah kelenjar air mata saya adalah saat yang penting untuk menyaring ketidakwarasan. Tapi mama tentu tidak terima alasan itu, dan saya tidak ingin membantahnya. Setiap orang punya alasan, seperti yang saya umbar di sini. Dan setiap orang perlu dihormati alasannya, termasuk saya ini.

Jadi, saya tidak takut kehilangan. Dan tidak takut mendapat rejeki nomplok kebanyakan. Mengutip kata-kata seseorang, semua ini cuma titipan; suatu hari harus dikembalikan.

Saya kembalikan pada-Nya, apa-apa yang menurut-Nya perlu diambil sekarang, meskipun saya akan terseok-seok pincang, tapi saya akan terbiasa. Kita semua akan terbiasa dan pada akhirnya mengikhlaskan dan berbaikan. Dan kembali hidup damai menunggu pemberian-Nya yang lain.
Dan oh ya, jangan mengira saya sok religius J saya hanya mencari alasan. Karena saya cinta pembuktian.

Selamat malam.

naa

Sunday, April 22, 2012

yang paling pagi

“melaju dan berlihat-lihatan,

maukah kamu memberitahu-Nya kamu cukup bahagia?

sepulang dari terbang di atas awan berjingkat milyaran milimeter

maukah kamu mengaku

dan bersyukur; atau berpendapat

lewat doamu dan bisikmu

atau sekedar lintasan pikiran bangun tidur”

-terbangun tadi pagi dan teringat dan berbisik ‘semoga kamu ; kita; baik-baik berlama-lama’ lalu menyeka mata yang entah kenapa banyak betul keraknya -



naa


personal religion

Assalamualaikum!

Ini adalah kumpulan tulisan saya selama saya pergi :

Pergi mengetuk pintu-Nya, mari kita umpamakan yang demikian, untuk menceritakan pengalaman perjalanan saya 9 hari yang lalu.

Perjalanan dimulai dari daratan Asia nyaris Eropa dengan penerbangan 13 jam. Lalu dua hari kemudian terbang lagi 3 jam mendekat ke rumah-Nya.

Touch down Madinah setelah 4 jam (lagi) teronggok, malam hari dan hujan, mama saya bilang daratan gersang ini jarang hujan. Mungkin ini penyambutan, saya pikir.

Bangun subuh pertama (yang tersulit) di kota rasul-Nya, dengan mata masih setengah terpicing, berjalan dalam iringan dua warna mayoritas, hitam dan putih. Dan saya bengong habis-habisan, mulai dari masuk gerbang sampai duduk di dalam. Bagaimana ya menggambarkannya? Yah persis seperti yang ada di foto. Tapi perasaan yang saya catat waktu itu, kita ini si dungu kecil di tengah pengawasan-Nya. Tidak ada keharusan untuk bersombong, kita ini telanjang, tinggi hati hanya akan jadi tertawaan. Dan saya tunduk, 5 kali sehari bergerak dalam iringan warna dan bahasa yang plural, berdesakan dan mengurut kesabaran semakin panjang digitnya, saya bisa merasakan perlahan-lahan saya tidak terlalu mengeraskan rahang dan mengernyitkan dahi untuk menahan emosi. Nanti di Mekah lebih ramai mulai terbiasalah, kata mama saya. Saya menelan ludah 3 kali.

Setelah 3 hari banyak bengong habis-habisan di mesjid Nabawi (terutama setiap kali menunggu isya melihat atapnya yang canggih itu terbuka dengan sistem elektrik), saya pun duduk di dalam bis bergerak menuju Mekah, rumah-Nya itu bagaimana ya?

Pesan mama (yang merangkap jadi pemandu wisata spiritual personal saya), jangan sembarangan ngomong, nanti jadi doa, lagi-lagi saya menelan ludah, menggigit lidah dan mengunci bibir, watch your mouth, Na!

Sepanjang perjalanan itu ada pak ustadz yang menjelaskan macam-macam, saya tidak terlalu fokus mendengarkan karena sibuk bengong dan menerka-nerka, saya mencatat satu hal : di setiap tempat di tanah-Nya, bersujudlah seakan engkau melihat-Nya, memohonlah pada-Nya dan Ia akan kabulkan (suara hati saya : kurang baik apa lagi, coba?)

Touch down Mekah. Tanpa basa-basi jam 12 malam bergerak ke mesjid menyelesaikan ritual umroh. “Semoga mendapatkan apa yang dicari..” *mengutip kata-kata yang rajin membalas email saya. Apa yang saya cari? : permintaan, pertanyaan, jawaban, protes, usulan, persetujuan, argumentasi, perintah, kesempatan bicara langsung dan porsi paling besar: pengampunan! Di depan pintu-Nya, mengetuk, bukan sekedar mengintip, tapi masuk, menonton dan datang bersujud habis-habisan. Saya ingat saya lupa pilihan kata-kata waktu pertama kali melihat Ka’bah dan diinstruksikan untuk berdoa di depan pintunya. Mula-mula, terbata-bata bilang ampun ya, yang Maha Baik ; amin (diulang berkali-kali di bibir, sementara doanya muntah keluar lewat bahasa telepati tanpa urutan prioritas, dan diulang berkali-kali karena tidak ingat sudah diceritakan atau belum) ; asalamualaikum (teringat tadinya belum bilang salam di pintu masuk, saking takut salah dan merasa seperti orang kampung datang bertamu). Semuanya jadi kacau! Seperti saya tidak pernah berbicara sebelumnya dan itu terdengar lucu kalau saja rangkaian kalimat-kalimat itu bukan saya minta pada-Nya. Sudahlah, Ia selalu tau apa isi kepala saya tanpa perlu meluncurkan huruf mulut. Dengan ingus yang terpaksa dilap ke jilbab dan air mata yang jatuhnya tidak pakai interval, saya pikir saat itu saya melihat-Nya dan Ia mengiyakan doa saya yang diselingi kalimat “aduh, mohon maaf kalau kata-kata saya berantakan dan saya bingung mau bilang apa lagi”. Begitulah. Berganti hari selama 5 hari (saya tidak terlalu ingat menghitung), perasaan yang berbeda dan pengalaman baru setiap hari. Saya tidak banyak menulis, karena hari-hari saya di sana di antara kamar hotel dan mesjid, dan entah kenapa selalu sering tertidur dimana-mana.

Di perjalanan di bis menuju Mekah, saya mencatat jawaban saya sendiri waktu teman saya bertanya apakah saya akan pakai jilbab sesudah pulang nanti. Hehehe, saya belum bisa langsung pakai hijab dengan alasan yang kalau saya tulis di sini bisa dengan mudah dibantah dan dipertanyakan, tapi perjalanan ini seperti membenturkan jidad saya ke meja di hadapan-Nya seperti yang selalu saya khayalkan kalau kesal bicara sama orang yang suka ngeyel (dan begitulah saya merasa saat itu), disodorkan bukti bahwa ia berkuasa dan saya ini hanya super duper partikel mikro yang sok berpikir sebesar benua Amerika, bukan dalam arti negatif, tapi dalam artian yang : seperti prinsip saya selama ini seeing is believing yang terdengar angkuh akhirnya dijawab. Nih buktinya! (*seperti yang diucapkan di iklan)

Tentu ada mimpi kecil suatu hari dapat menjalani kehidupan tentram berhijab seperti yang saya tontoni di masjid-masjid, tapi saat ini keluarbiasaan perasaan yang saya telan dari setiap episode perjalanan ini membuat saya tertunduk dan mengerti mengapa Ia panggil saya. Untuk ‘melihat-Nya’, untuk menghiraukan-Nya, untuk mempercayai segala pemberiannya yang datang dalam bentuk seaneh apa pun, tanpa banyak tanya!

Dan bagi saya sekarang, agama-Nya memang sederhana. Iman pada-Nya memang hubungan yang mutlak personal, tapi perintah-Nya pun mutlak biarpun kadang-kadang stressing dari kalimat barusan sering tidak saya dengarkan. (Tapi yah, ada hal-hal yang memang tidak akan saya capai dengan logika babi saya, pertanyaan kenapa harus ini? Kenapa tidak cukup dengan percaya dan tunduk dan berbuat baik? ) sebelum-sebelumnya saya tidak mengerti, lalu tiba-tiba --biarpun saya masih bawa pulang PR untuk belajar mengerti—saya merasa ikhlas mengikuti perintah-Nya, Ia selalu bersabar menunggu saya minta ampun dan terus mengabulkan permintaan saya tanpa ada alasan yang bisa saya mengerti, saya pun harus bersabar dan mengikuti perintah-Nya meskipun tanpa ada alasan yang saya mengerti dengan pikiran kecil saya ini. Semua menjadi logika yang lebih sederhana.

Lalu saya teringat kata-kata si pak ustad berbulu mata panjang tapi jarang-jarang itu, yang menjadi pemandu (atau bahasa arabnya mutowif *don’t know the spell) : “biarpun uang kita banyak, kalau belum dipanggil tentu kita tidak bisa datang ke sini.” Lagi, tamparan di muka! Great saying Pak ustad! I don’t realize that i was so lucky!

Oh, tidak lupa dalam perjalanan menuju Mekah itu (dimana saya tidak tertidur lama karena terlalu deg-degan) saya tetap menganggap bahwa menjadi sopir bus atau truk itu pekerjaan yang keren. Riding that huge and long vehicle! Saya harus mencoba suatu hari menyopir bus, noted!

Dan perjalanan ditutup dengan penerbangan 9 jam, bangun-tidur-bangun-tidur-makan-toilet-tidur-makan-angkat-angkat barang-tidur seharian di rumah. Touch down Jakarta.

Sekian. Haslah (*again, don’t now the spell)

naa

Tuesday, April 3, 2012

potensial aksi


“mulut manis, garis kuning bersemir biru. Cinta lama bolehkah kuganti nama baru?

Menghangat dibalut banyu bening kebiruan

Menyapukan gelombang pasang yang ditumbuk bukit berlaur

Mulutmu terasa manis berkenyal di telingaku

Lelah tersenyum memantul kilau pada wajahmu,

Aku tidak pernah mau pulang, tapi gerimis memaksa beranjak angkat kaki

Kuberi jarak selang tiga, tertelan di tepi garis biru kuning.

Cinta lamaku tanpa jawaban, dan aku kecanduan bertanya”


..... Aku selalu suka perasaan sesudah aku bertemu menjauh dari kontinuitas kebosanan. Sesudah tetap tinggi, dan tidak berhenti, tersenyum tampak gigi… kini aku punya tabungan kupu-kupu di dalam perut yang cukup untuk membuatku gila tiba-tiba. Masih bisa persis kugambarkan ulang warna kulit kita tanpa malu-malu saat berpegangan erat. Telanjang,tanpa disaksikan. Bicara, tanpa ikut aturan bahasa. Mencuri lihat dan dengar setiap masa bersamaan yang lama tidak pernah bergema. Sudah bertumpuk hari dilupakan dan ditekan habis-habisan. Sekarang ini : bertabrakan di pinggir garis biru kesayangan.


Sekali lagi : aku hanya mau merabarasa ulang



(jangan asosiasikan sebagai kedangkalan 17++. berhenti mereka-reka, bersantailah menikmati kreasi otak saya)


naa