Friday, November 7, 2014

Kay


Kucing buta saya si Toby, beranak tiga. Hasil perkawinan paksa yang di dunia manusia akan kita sebut perkosaan, karena terjadi saat Toby menyelinap keluar rumah. Sudah hampir 5 bulan saya ketambahan tiga ekor anak kucing yang memiliki rasa ingin tahu tingkat tinggi dan senang bergumul dengan brutal. Sebenarnya saya terkejut karena kehamilan Toby ini, bertahun-tahun saya vakum tidak punya anak kucing, tiba-tiba keinginan saya untuk membesarkan anak kucing terkabul, saya malah diberi tiga!
Tiga ekor anak kucing itu saya beri nama Kay, Keane dan Lilly. Dua pertama jantan, si kecil Lilly betina. Jangan tanya saya filosofi nama mereka, karena sepanjang karir saya memelihara kucing saya menamai hanya berdasarkan kata petama yang terlintas di kepala saat pertama melihat mereka. Pernah dulu salah satu anak kucing saya namai Megan karena saat itu Megan Fox terngiang di kepala saya, dan well yeah bayi kucing jelas tidak seseksi itu dan tentu tidak akan tumbuh seksi, jadi memang tidak ada maksud dan harapan di balik nama itu.
Saya pernah memelihara 5 ekor anak kucing sekaligus, tapi tidak lama hidup dengan saya karena selepas menyusui di usia 3-4 bulan, mereka saya lepas untuk dibarter dengan uang. Toby merupakan satu-satunya anak kucing yang tetap tinggal dengan saya sampai sekarang usianya sekitar 7 tahun. Saya benar-benar lupa rasanya tinggal dengan anak kucing! Tapi percayalah, it was very good days. Mengamati mereka tumbuh dan seakan fast forward tiba-tiba sudah besar bisa berlari sana-sini padahal baru rasanya kemarin mereka belajar merangkak keluar dari keranjang si mama. Memang tidak se-wah saat membesarkan anak manusia, tapi hewan didesain untuk secepat itu mandiri, dalam hitungan bulan 3 ekor bayi kucing mirip tikus itu sekarang sudah bisa berkompetisi dengan mamanya merebut potongan kerupuk yang saya lempar setiap kali saya makan di meja makan ditunggui 4 ekor gumpalan kapas dengan mata memelas, kecuali Toby si mama, soalnya dia buta.
2 ekor resmi saya tawarkan untuk dibarter dengan uang, Keane dan Kay. Lillypad si betina kecil saya putuskan untuk tinggal menemani Toby si mama, yang meski pun dia super penakut dan eksistensinya di rumah lebih banyak dihabiskan diam di kolong sofa, setidaknya, saya pikir harus ada yang menemani si mama di hari tuanya.
Kay, the least expected malah duluan akan pergi. Oh ya, saya harus ceritakan siapa bapak mereka. Adalah seekor kucing penghuni properti saya (karena suka berkeliaran di halaman rumah saya dan ngadem di bawah mobil) yang saya sebut Kuro (singkatan dari Kucing Jorok) karena kebiasaannya menandai kekuasaan dengan pup di depan pintu rumah saya! Kuro bukanlah kucing kampung, dari postur badannya saya tahu dia adalah kucing ras, karena tidak pesek dan tidak menunjukkan pola wajah dan bulu khas Persia saya tahu dia bukan persia, mungkin mix breed, mungkin angora. Yang jelas dia bukan kucing biasa. Dia itulah, yang mengawini Toby. Kuro si kucing menyebalkan dengan muka ngajak ribut adalah bapak dari Kay, Keane dan Lilly. Dan the moment saya melihat pola warna bulu mereka, dan wajah Kay, saya tahu Kuro lah si bapak. Kay adalah cetakan termirip, dan sebagaimana pecinta kucing ras Persia saya paling tidak menganakemaskan Kay, habis mukanya paling mirip Kuro yang mancung!
Tapi ternyata Kay lah yang besok akan saya drop di rumah teman saya yang setuju menukar Kay dengan uang. Dan malam ini saya memboyong keempatnya tidur di kamar saya, ternyata saya sedih juga Kay akan pergi, entah kenapa saya merasa Kay juga tahu dia akan dibawa pergi. Saya merasa dia memandangi saya dengan tatapan “I knew it”, dan hari ini dia menjilati Keane dan Lilly dengan saying. Hati saya terenyuh, besok saya akan memisahkan seorang anak dari ibunya, seorang kakak dari kembarannya. (menelan ludah). Dia bahkan belum pernah naik mobil dan dibawa ke dunia luar..
Saya yang melodramatic dan cengeng ini, tidak terhindarkan juga menangis saat tadi pulang dan menemui Kay di kandangnya. Segala alasan rasional saya memutuskan untuk mengurangi jumlah kucing yang ada di rumah saya tiba-tiba rontok saat saya mengulurkan tangan ke dalam kandang dan dia menjilatinya (di dunia kucing, kalau mereka menjilati manusia, bisa tanda sayang atau tanda ada maunya atau bau tangan manusia sedang menggugah selera), Kay jarang menjilat saya, dan besok Kay pergi. Duh saya seperti mama yang akan melepas anaknya untuk diadopsi. Sebagai breeder, sebenarnya tidak boleh saya terlalu terikat emosional dengan anak-anak kucing yang dibiakkan, masalahnya adalah kelahiran mereka tidak saya ‘jadwalkan’ untuk dibiakkan dan mereka saya hitung sebagai peliharaan.
Kira-kira, apakah nanti Kay akan rindu rumah saya? Apakah Kay akan ingat Toby dan dua kembarannya? (menelan ludah). Saya jadi teringat tulisan mbak Dee Lestari di salah satu buku Supernova karyanya, manusialah yang memberi binatang perasaan. Kitalah yang merefleksikan perasaan kita pada mereka. Tidak tahu apakah mereka bisa mengingat, tidak yakin juga apakah mereka bisa sakit hati karena harapan yang tidak tercapai. Lalu saya ingat perkataan Cesar Milan di salah satu episode acara Dog Whisperer-nya, binatang hidup di masa kini. Dia tidak akan menyalahkan kita dan marah pada kita, manusia. Dia hanya bereaksi terhadap present action. Saya harap mereka benar, kalau pun mereka salah, dan Kay menyadari bahwa mungkin dia tidak akan bertemu keluarganya lagi, saya harap Kay mengerti alasan saya dan memulai hidup baru dengan baik (menelan ludah).
Jadi, babling saya yang panjang tentang kehidupan saya dengan kucing-kucing saya akhiri di sini saja. Saya sungguh senang diberi 3 ekor anak kucing dan senang juga menemukan calon owner yang baik untuk Kay. Saya selalu menerapkan prinsip bahwa saat berpisah dan terasa amat sangat bersedih, itu adalah harga yang dibayar untuk kebahagiaan yang sudah pernah dijalani bersama, sehingga saya bisa melalui perpisahan dengan ikhlas. Bagi orang yang juga punya hewan peliharaan tentu lebih bisa memahami mengapa sedalam ini saya merasa berat berpisah, hewan peliharaan adalah komitmen, anggota keluarga, pemberi warna. Kebahagiaan yang diberikan tidak sebatas tingkah lucu atau bulu lembut, tapi juga berasal dari loyalitasnya, kesehatannya dan bahkan sekedar kehadirannya di ruangan yang sama…  
Ah. Well this is a farewell note to Kay.. selamat menempuh hidup baru dengan nama baru, Kaye Meowingtton a.k.a Kay. I really don’t know what to say…
(Meowingtton adalah nama resmi cattery saya dan adik saya saat Berjaya dulu, sehingga semua anak kucing di sertifikatnya diberi nama belakang demikian)


naa




Tuesday, October 21, 2014

Pesta Rakyat

Siang terik tadi saya pergi ke Monas, berhubung hari ini pelantikan bapak presiden yang ketujuh. Sepulang kuliah yang seringkali usai terlalu pagi, untuk orang yang berjuang melek dari subuh demi tiba di kampus dengan cantik pukul tujuh, kelas yang berakhir pukul sepuluh pagi membuat semangat yang dijerang sejak subuh terasa mubazir. Jadilah saya dan dua rekan saya beriringan dengan mobil dan dua motor menuju Monas. Euforia karena the new hope seperti yang diusung majalah Times? Bukan. Kepingin makan gratis? Bukan. Ingin jalan-jalan, iya.
Judulnya pesta rakyat, sedari kecil terbiasa jadi rakyat jelata saya menerjemahkan pesta rakyat dengan arak-arakan, gerombolan manusia aneka usia, musik dangdut, aneka tukang dagang, disebar di suatu lapangan yang dialihfungsikan, seperti stadion atau lapangan pacuan kuda. Itulah yang saya lihat hari ini, dengan mengenakan setelan ala kantor (padahal saya bukan orang kantoran), saya berjalan kaki dari stasiun Gambir dimana saya menyimpan mobil, ke arah pintu Monas. Jam dua belas siang kerumunan belum ramai seperti yang saya lihat tadi di TV saat puncak acara sekitar jam delapan malam, saya berpapasan dengan macam-macam orang, macam-macam arakan, pastinya dengan pelbagai tendensi. Segerombol keluarga baru turun dari bis transjakarta, membawa paying, menenteng tas, menggenggam tangan anak-anaknya, khas dengan keringat mengalir di pelipis. Lalu saya berpapasan juga dengan remaja-remaja tanggung (tanggung panjang celananya), saya tidak tahu apakah mereka tidak sekolah atau saya salah terka usia, yang jelas mereka juga berjalan ke arah yang sama dengan saya, bedanya hanya di rok dan celana, dan usia, dan kacamata hitam (banyak juga sih).
Tapi yang saya perhatikan adalah kegembiraan di wajah-wajah mereka, entah karena bapak presiden pilihan rakyat yang berasal dari rakyat berhasil naik ke kursi pimpinan segala rakyat, atau karena janji makan gratis dan band Slank mau manggung, atau karena bisa mengedukasi anak-anaknya tentang tempat-tempat bersejarah Jakarta, pokoknya mereka gembira. Saya pun jadi ketularan gembira, padahal dalam keadaan takaran mood saya biasanya, panas hari bolong dikombinasi jalan kaki tanpa penutup kepala sudah harga mati bikin bibir mencibir. Hari ini saya senang sekali melihat macam-macam orang dan mencoba menerka alasannya bergerak dari rumah untuk datang ke Monas, menerka bagaimana bentuk rumahnya, menerka apa jenis musik kesukaannya. Terkesima juga sesekali dengan kaus yang dikenakan banyak orang saat itu, kaos bergambar bapak presiden dengan tagline untuk Indonesia baru. Terasa betul meski secuil ada harapan yang mencuat dari napas tertahan, momen ini adalah bagian dari sejarah, hari ini orang-orang ini, dan saya juga, dengan konkret merayakan penulisan sejarah bangsa. Meski secara tidak langsung karena saya awalnya hanya mau jalan-jalan ke area non-mall, non-cafe, non-parkir tarif per jam, tapi penggerak niatan tersebut adalah keberadaan pesta rakyat ini. Terminologi tepat untuk menggambarkan hari ini, rakyat berkumpul ramai-ramai, ada makanan dan musik, ada sukacita, ada alasan untuk dirayakan, bukankah itu items pesta?
Meskipun saya dan kedua teman saya hanya berkeliling radius dua ratus meter dari gerbang Monas dan akhirnya menertawakan orasi dari kelompok entah apa sambil makan sate padang dan menandas es campur duren tanpa duren, senang juga rasanya menonton orang. Kata teman saya keadaan begini juga terjadi kalau hari Minggu di Senayan, orang kumpul-kumpul mau olahraga, ada jajanan, ada musik. Tapi hari ini tentu berbeda, kata saya, tidak ada alasan magis homogen yang membuat orang segala penjuru sepakat datang. Bapak presiden rakyat hari ini resmi dilantik, itu alasan homogennya, yang magis adalah kerumunan ini meski saya tidak tahu berapa prosentasenya, ada yang hadir karena bersuka cita akan resminya bapak presiden dilantik. Buktinya ada yang orasi, buktinya ada yang pakai kaos itu. Saya menerjemahkan fenomena ini sebagai besarnya citra bapak presiden baru di mata rakyat, rakyat mana saja, meskipun yang paling ekspresif dan lebih berniat berpesta kebanyakan adalah rakyat jelata yang naik angkot, hehehehe..
Tak beberapa lama pawai dan orator perempuannya yang meneriakkan tentang harus lebih galak dari matahari, saya dan kedua teman saya memutuskan pergi lebih awal sebelum pesta rakyatnya betul-betul dimulai, apalagi abang tukang sate padang kami disuruh pergi oleh bapak satpol PP dengan alasan asapnya bikin mata orang-orang pedas, lah wong saya duduk face to face sama asap satenya baik-baik saja kok… anyway, hahaha, seperti rakyat lainnya yang tidak ikut pesta saya kuatir juga akhirnya dengan kondisi jalanan, takut macet, begitu. Saya pun berpamitan dan kembali jalan kaki menuju stasiun Gambir dengan kemeja berpunggung basah, saya melawan arus orang-orang yang semakin ramai berjalan ke arah Monas, ibu muda dengan senyum dan menenteng orok, atau pun ibu pedagang asongan tanpa gentar mendorong gerobak memburu kerumunan, semua hari ini bergerak ke titik yang sama untuk tujuan macam-macam, tapi digerakkan satu alasan bawah sadar: merayakan era baru, presiden baru dan harapan baru.
Hari saya pun diakhiri dengan pillow talk bersama pacar, not literally pillow talk as seen on movie, dia di atas kasur, saya di ubin. Di antara peluh dan sumuk dan rambut pendek saya bergumpal di leher, serta sisa-sisa bau asap rokok bercampur bau kentut dan bau minyak dari gorengan ayam sisa makan malam, pembicaraan ringan kami terasa menyenangkan, saya teringat benar juga kata orang, akan selalu ada hal yang tidak kita ketahui tentang pasangan, hal ini salah satunya. Saya tidak tahu kalau pembicaraan ringan dengan si pacar bisa membuat hati saya ikut-ikutan ringan, tanpa topik spesifik dan dua cangkir signature coffee pembicaraan ngalor-ngidul kali ini malah lebih terasa mind blowing daripada pembicaraan brainstorming yang di masa dulu saya lakukan.
Barangkali, pacar saya memang bukan lawan bicara tukang berkhayal dan banyak tanya yang lebih sering menghasilkan kernyit dahi daripada senyum malu-malu. Untuk seseorang seperti saya yang seolah-olah hidup di dimensi tukang kaji dan tidak puas, pacar saya adalah orang normal. Yang akan marah kalau saya bertindak aneh untuk alasan tidak lazim, yang tidak berdecak kagum pada pemaparan pemikiran obsesif dan sarat hal-hal destruktif. Well what are the odds? Coffee shop talking tidak lagi jadi sekte saya, brainstorming dan mempertanyakan makna hidup mulai menipis frekuensinya. Pacar saya hidup di garis bilangan masa kini, dan mau menarik saya keluar dari masa lampau. Pembicaraan ringan ini adalah manifestasinya. Normalitasnya menyadarkan saya, bahan obrolannya membuat saya tersenyum tanpa usaha. Jatuh cinta lebih mudah tanpa diupayakan.

Well. To sum up:
Hari ini rakyat berpesta
Saya dan pacar berbicara, saya bersuka cita
Selamat malam Jakarta!


naa

Friday, July 18, 2014

who past whom

"i don't remember their last haircuts
Probably couldn't recognize well their laughter if we met
knowing that neither they nor I ever need to fix and replace what's gone
I suddenly believe that we ride in different time, and don't find out yet, who past whom."

naa          





                                         

Wednesday, July 9, 2014

sadly, this is useless

Seringkali setiap menyetir seorang diri, di track panjang sepanjang cipularang, maupun track pendek-pendek pagi buta pulang ke rumah saya menemukan banyak pemikran dan emosi, yang sering kali lebih banyak tertumpah saat saya duduk di kursi driver, saya tidak tahu apakah orang-orang lalin juga melakukan hal yang sama, misalnya sesenggukan menangis selama menyetir di tol sampai bibir terasa bengkak pasca disengat lebah, belum pernah sih, hanya mengira-ngira saja rasanya.
Lantas ada dua hal yang saya pikirkan tadi selama menyalip-nyalip truk-truk sebesar megatron di tol Cikampek, pertama, kenapa kita membenci, dan tidak bisakah kita berhenti membenci. Perasaan itu bukanlah sesuatu yang asing selama kita hidup menjadi manusia. Kita benci benda, kita benci pengalaman-pengalaman pahit, beberapa dari kita malah membenci diri sendiri. Semua dengan alasan yang kita percaya membenarkan kebencian. Pada intinya, selalu ada pembenaran yang tampak logis, atau yang logis dan tampak benar, mana pembenaran yang tepat, hanya dinilai secara individual. Saya bisa tidak sepaham dengan orang yang membenci seseorang dari etnis tertentu karena menggenalisir negara asal etnis tersebut yang disebut-sebut di berita merugikan negara kita, tapi ketidaksepahaman saya tidak dapat menjadikannya berhenti membenci kelompok etnis tersebut.
Saya punya daftar hal-hal yang saya benci, tapi syukurlah saya tidak punya daftar resmi orang-orang yang saya benci. Saya suma punya daftar orang yang tidak saya suka atau tidak lagi saya sukai. Karena sepertinya membenci orang merupakan tindakan yang berrisko, banyak energi saya yang akan habis bila membenci seseorang, contohnya sewaktu saya belajar membenci teman sekelah saya sewaktu saya masih SD. Karena dia sangat pintar dan saya berkali-kali duduk di peringkat dua di bawahnya. Saya merasa menghabiskan banyak energi untuk tidak mau bertanya apapun tentang pelajaran padanya, atau meminjam barangnya, atau sekedar mengundangnya ke acara perayaan ulang tahun saya, aksi-aksi yang tidak perlu, yang membuat saya bergidik memikirkannya.
Lalu seorang guru sewaktu saya sekolah SMP menyebutkan satu kalimat yang terngiang dan berandil sedikit dalam mengubah pandangan saya tentang kebencian : kita tidak diciptakan untuk membenci, itu hanya perasaan tidak suka yang terus kita pertahankan. Saya pikir-pikir kalimat itu ada benarnya, kita akan selalu bertemu orang yang melakukan hal-hal menyebalkan yang bisa saja membuat kita tidak menyukai orang tersebut, tapi alasan itu saya rasa hanya cukup untuk melandasi ketidaksukaan yang sesaat, kalau sampai kita menciptakan alasan-alasan lain maka saat itu kita memutuskan untuk membencinya, dan menurut saya tanpa kita sadari kita melakukan segala hal untuk melanjutkan alasan itu, dan menciptakan kebencian, dan mungkin kita tidak mengakui bahwa hal-hal itu membuat kita kelelahan.
Dengan menulis ini saya tidak menyatakan bahwa saya adalah orang yang lurus-lurus saja dan tidak pernah membenci orang lain. Beberapa kali pun semasa kuliah saya sebagai seorang sahabat wanita yang baik ikut membenci mantan pacar teman saya, atau pacar barunya mantan teman saya, dalam tahun kemarin saya baru saja dinobatkan menjadi public enemy di genk tertua saya (tertua usia pertemanannya) dan rasanya tidak usah diwawancara satu-satu apakah mereka membenci saya atau tidak. Melalui mereka saya belajar untuk tidak membenci dua hal, membenci mereka karena berhenti berteman dan membenci diri saya sendiri karena memutuskan pertemanan lantaran tak kuat hati dan tak kuat malu diasingkan. Karena saya lelah membenarkan alasan saya untuk membenci mereka yang menyakiti hati saya dan membenci diri saya sendiri atas tindakan ekstrem saya yang membuat mereka pergi, karena bagi saya kesalahan yang kita perbuat adalah one time thing, biar seberat apa pun, yang tidak kita sukai adalah tindakannya, bukan orangnya.
Rasanya sulit ya menemukan alasan paling tepat tidak menyukai seseorang selain karena sifat maupun perbuatannya, tapi kalau mengingat hakikat kelahiran manusia yang ditakdirkan bersih dari nol, dengan segala kebaikan yang ditabung orangtua selama membesarkan kita, membenci adalah sikap pilihan yang kita bentuk seiring waktu, bukan sikap yang diturunkan atau sesuatu yang dikodekan melalui DNA. 

naa




"tak sulit mengingatkan tentangmu
semua kenangan yang kita tulis sepanjang masa bersama
hingga satu titik kuputuskan untuk menambah warna lain dalam ceruk pelangimu
melunturkan mejikuhibiniu pertemanan yang kita terjemahkan semasa muda
aku lupa mengatakan maaf
kamu tidak bilang kapan akan berhenti berseberangan 
semua tiba-tiba berhenti 
sudah hampir setahun sampai kini
kapan kita berhenti dalam diam saling membantai
dan suatu hari bisa bicara dalam damai?"


Monday, July 7, 2014

jalan tol

berkendara bersama
di jalanan panjang membelah gunung-gunung hijau
sinar matahari sore menentramkan hawa dingin pasca hujan berangin

lagu ska lama diputar menyalak
suaraku bernyanyi sember berteriak
kita tertawa-tawa geli
mengawasi truk-truk bertulis aneka kalimat basi

tak ada yang terasa mengapa
tidak bahagia berlebihan
tidak sedih berkepanjangan
hanya sesederhana rasa damai melekat
tidak risau akan hal kecil seperti bekas jerawat

sungguh Yang Maha Baik
berkah alam-Mu selalu yang terbaik!


naa

Wednesday, May 14, 2014

the good night

because I cant sleep
and start crying hard
now my stomach hurts
like a giant black hole sucking them
and my heart's pounding
irregularly
my breath shortens
it seems too hard to take the air in
now i'm tired
my eyes are just too heavy
good night
I survive my demon tonight
i'm so sorry. i'm still the same person I made as a foe in the past.

naa

Tuesday, May 13, 2014

H


Suara kepalaku bernama H. Ia adalah kenalan terlama yang kupunya, sejak kala pertama aku mengingat, H sudah disertakan di dalamnya. Aku tidak pernah tahu wujud H, juga tidak pernah tahu bagaimana bentuk suara H bila ia punya pita suara. Bunyi yang dikeluarkannya bukan bersumber dari sana, tapi mungkin dari resonansi suatu bagian otak yang kupunya.
H berbunyi sepanjang hari, tapi H tidak pernah mengajakku bicara. H ikut berbicara sesuai pikiranku, ia tidak pernah menjadi subjek lain yang menjadikanku subjek orang ketiga, sehingga kami tidak pernah bekenalan secara resmi, ia tidak menyebutkan namanya, sebenarnya akulah yang menamainya H. Entah mengapa aku menamainya demikian, H adalah kenalan terlama yang kupunya, kebanyakan kita tidak dapat begitu mengingat satu dari banyak alasan yang pernah dibuat selama kita mengenal orang berpuluh-puluh tahun. Bulan ini aku merayakan ulang tahunku kedua puluh enam, maka kurasa kurang lebih segitulah usia perkenalanku dengan H.
Meskipun kami tidak pernah saling berbicara, H-lah yang berperan paling banyak berperan dalam pengambilan keputusanku, H, entah bagaimana caranya dapat berbentuk seperti lubang hitam yang menghisap apa pun termasuk semua perkataan semua orang dan mencernanya seperti yang kamu lakukan di dalam perutmu saat menelan sepiring nasi. Lalu, entah bagaimana caranya H akan menanamkan keputusan itu padaku.
Hidup selalu lebih mudah bila H yang memutuskan, aku tidak pernah punya keberanian sebesar yang dimiliki H, atau sebesar yang selalu aku tulis di dalam tulisan-tulisanku yang lain. Bila H yang memutuskan, semua orang akan gembira dan mengakui kebenaran keputusan. Seperti memutuskan untuk memilih baju dari rak baju di toko, tentu akan lebih aman kalau memilih dari rak best seller.
H selalu lebih besar dari hati, mungkin H berukuran sebesar pikiran, yang secara abstrak kuanggap berukuran tigaperempat dari total keseluruhan diri.  Sampai suatu hari aku memutuskan untuk membunuh H, karena H sudah berbohong selama 12 tahun. Mula-mula H berbohong kecil-kecil, lalu lama-lama H membohongi pikiranku sampai pikiranku terpusat jadi satu dan menolak sistem yang benar. Dan semua orang yang mengira H adalah aku, terbengong-bengong, dan beranjak pergi.”

Untuk kalian yang tak sempat mendengar. Biar saya bicara lewat telepati dan kabel-kabel imajiner yang tersambung ke kepala kalian, sehingga tidak ada rejeksi, karena kalian tidak tahu saya menyampaikan pesan lewat kabel-kabel itu, sebut saja ini arus satu sirkuit.
Setelah kalian bilang soal peduli dan menceramahi saya tentang kekecewaan,  saya tidak jadi bunuh diri. Bukan, saya tidak lagi berpikir mau bunuh diri. Saya sudah jera membunuh diri.  Setelah kalian pergi dan berpuasa bicara, sekarang saya bisa mendengar suara kepala saya sendiri. Setelah selesai menangisi ketidakbahagiaan, hari ini saya bersepakat dengan diri untuk berbahagia. Kalian tidak paham, tentu tidak ingin paham. Karena kita berteman lama, saya tidak ingin tidak bicara lebih lama.
Sesungguhnya, yang sekali ini, adalah upaya saya yang paling berani untuk mendengarkan kata hati, saking terlalu lama tidak pernah berani sampai detik ini pun saya masih canggung mendengarkan hati.  Hidup saya telah lama berpusat pada apa yang saya pikir paling sesuai, hidup saya selama ini saya ini cukup berlogika.

Kini, sudah lepas bulan pertama, kedua dan ketiga sampai saya lupa bagaimana menangisi kalian pergi. Saya tidak lagi sakit hati. Ini adalah momen yang saya janjikan, mengerti atau tidak mengerti, marilah berdamai, saya tidak lagi berada di bab yang sama dengan bingkai kalian. Mari bergegas, kita sudah tuntas. 


naa