Tuesday, May 13, 2014

H


Suara kepalaku bernama H. Ia adalah kenalan terlama yang kupunya, sejak kala pertama aku mengingat, H sudah disertakan di dalamnya. Aku tidak pernah tahu wujud H, juga tidak pernah tahu bagaimana bentuk suara H bila ia punya pita suara. Bunyi yang dikeluarkannya bukan bersumber dari sana, tapi mungkin dari resonansi suatu bagian otak yang kupunya.
H berbunyi sepanjang hari, tapi H tidak pernah mengajakku bicara. H ikut berbicara sesuai pikiranku, ia tidak pernah menjadi subjek lain yang menjadikanku subjek orang ketiga, sehingga kami tidak pernah bekenalan secara resmi, ia tidak menyebutkan namanya, sebenarnya akulah yang menamainya H. Entah mengapa aku menamainya demikian, H adalah kenalan terlama yang kupunya, kebanyakan kita tidak dapat begitu mengingat satu dari banyak alasan yang pernah dibuat selama kita mengenal orang berpuluh-puluh tahun. Bulan ini aku merayakan ulang tahunku kedua puluh enam, maka kurasa kurang lebih segitulah usia perkenalanku dengan H.
Meskipun kami tidak pernah saling berbicara, H-lah yang berperan paling banyak berperan dalam pengambilan keputusanku, H, entah bagaimana caranya dapat berbentuk seperti lubang hitam yang menghisap apa pun termasuk semua perkataan semua orang dan mencernanya seperti yang kamu lakukan di dalam perutmu saat menelan sepiring nasi. Lalu, entah bagaimana caranya H akan menanamkan keputusan itu padaku.
Hidup selalu lebih mudah bila H yang memutuskan, aku tidak pernah punya keberanian sebesar yang dimiliki H, atau sebesar yang selalu aku tulis di dalam tulisan-tulisanku yang lain. Bila H yang memutuskan, semua orang akan gembira dan mengakui kebenaran keputusan. Seperti memutuskan untuk memilih baju dari rak baju di toko, tentu akan lebih aman kalau memilih dari rak best seller.
H selalu lebih besar dari hati, mungkin H berukuran sebesar pikiran, yang secara abstrak kuanggap berukuran tigaperempat dari total keseluruhan diri.  Sampai suatu hari aku memutuskan untuk membunuh H, karena H sudah berbohong selama 12 tahun. Mula-mula H berbohong kecil-kecil, lalu lama-lama H membohongi pikiranku sampai pikiranku terpusat jadi satu dan menolak sistem yang benar. Dan semua orang yang mengira H adalah aku, terbengong-bengong, dan beranjak pergi.”

Untuk kalian yang tak sempat mendengar. Biar saya bicara lewat telepati dan kabel-kabel imajiner yang tersambung ke kepala kalian, sehingga tidak ada rejeksi, karena kalian tidak tahu saya menyampaikan pesan lewat kabel-kabel itu, sebut saja ini arus satu sirkuit.
Setelah kalian bilang soal peduli dan menceramahi saya tentang kekecewaan,  saya tidak jadi bunuh diri. Bukan, saya tidak lagi berpikir mau bunuh diri. Saya sudah jera membunuh diri.  Setelah kalian pergi dan berpuasa bicara, sekarang saya bisa mendengar suara kepala saya sendiri. Setelah selesai menangisi ketidakbahagiaan, hari ini saya bersepakat dengan diri untuk berbahagia. Kalian tidak paham, tentu tidak ingin paham. Karena kita berteman lama, saya tidak ingin tidak bicara lebih lama.
Sesungguhnya, yang sekali ini, adalah upaya saya yang paling berani untuk mendengarkan kata hati, saking terlalu lama tidak pernah berani sampai detik ini pun saya masih canggung mendengarkan hati.  Hidup saya telah lama berpusat pada apa yang saya pikir paling sesuai, hidup saya selama ini saya ini cukup berlogika.

Kini, sudah lepas bulan pertama, kedua dan ketiga sampai saya lupa bagaimana menangisi kalian pergi. Saya tidak lagi sakit hati. Ini adalah momen yang saya janjikan, mengerti atau tidak mengerti, marilah berdamai, saya tidak lagi berada di bab yang sama dengan bingkai kalian. Mari bergegas, kita sudah tuntas. 


naa

No comments:

Post a Comment