Wednesday, February 29, 2012

pre wedding

Folks!

Kemarin saya pergi karaoke dengan seluruh staf kantor tempat saya magang. Dan menemukan suatu pemikiran yang mengerikan yang ingin saya bagi di sini, kita selalu tau kalau pergi karaoke dan diberi kesempatan bernyanyi, maka pilihannya adalah kita menyanyikan yang sesuai dengan suasana hati, sekaligus curhat, atau yang sekalian tampak gila. Salah satu bos saya menyanyikan berbagai lagu lagu-lagu menyayat hati tentunya, seperti lagu-lagunya Kahitna, menyinggung tentang cinta yang tidak tersampaikan. Ironisnya, bos saya sudah menikah. Ternyata, tidak semua orang di dunia ini ya menikah dengan cinta dalam hidupnya. Tai kucing! Kalau kata papa saya mah...

Saya selalu memperoleh doktrin bahwa menikah itu harus dengan orang yang benar-benar kita sayangi dan menyayangi kita. Tapi sewaktu hidup saya mencapai angka dua puluh, dan melihat mereka yang menikah dengan berbagai variasi nasib, ternyata pernikahan itu cukup tragis untuk dijalani dengan berbagai spekulasi. Terasa gila bagi saya kalau saya nanti gagal menikah dengan orang yang selalu saya cintai, karena orang yang saya cintai tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk membiayai kehidupan saya. Lantas? Saya mempercayai bahwa kita sebaiknya cenderung pada hal-hal yang kita butuhkan, daripada hal-hal yang kita inginkan, apakah memang seharusnya juga begitu pada pernikahan?

Saya pernah tidak sengaja brainstorming dengan mama saya, yang pada masanya dulu, menikah dengan papa saya sewaktu seusia saya, 25 tahun, masih menjadi koas. Sementara papa saya adalah dokter umum baru lulus yang sedang berjuang melanjutkan sekolah untuk naik derajat, lantas saya tanya pada beliau, apa yang membuatnya mau menikah dengan papa saya yang masih tidak punya apa-apa, kata mama saya, beliau percaya bahwa papa saya akan jadi orang hebat dan memberinya kehidupan yang hebat. Untungnya kepercayaan itu menjadi kenyataan, bagaimana kalau tidak akan pernah jadi kenyataan? Salah spekulasi? Menginginkan kehidupan yang lebih baik tapi malah jatuh ke lembah derita, my man! How horrible is that?

Baik, kembali kepada topik bos saya tadi, jadi pertanyaan yang terlintas di kepala saya sewaktu mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikannya adalah : kalau tidak sama orang yang diinginkan, kenapa menikah? Pertanyaan ini berbeda dari pertanyaan : kenapa tidak menikah dengan orang yang diinginkan? . intinya, kenapa harus dipaksakan menikah? Kenapa tidak tunggu ada lagi orang yang bisa dicintai dan diinginkan? Lalu saya membayangkan jadi istrinya pak bos, dan bagaimana rasanya kalau saya tau bahwa suami saya menyanyikan lagu-lagu mellow, mengenang siapa pun yang sudah pergi itu. Dalam konteks bercanda sekalipun, membayangkannya sudah terasa menyakitkan! Sekali lagi! Kalau tidak sama orang yang diinginkan kenapa menikah? Kenapa? Obligasi apa? Keharusan apa? Mungkin saya terdengar putus asa atau terdengar seperti orang yang takut akan komitmen pernikahan, tetapi yang menggelitik pikiran saya di sini berapa banyak orang di luar sana yang seperti itu? Membangun kehidupan yang baik, lama dan hebat ternyata bukan dengan orang yang diinginkan. Dia tampak bahagia, anak-anaknya sejahtera, tapi dia tidak menikah dengan yang diinginkannya. Apakah itu dihitung bahagia?

Sejujurnya saja saya saat ini berada di sekelompok orang yang takut akan komitmen. Dan secara personal saya takut tidak bahagia setelah saya memutuskan untuk menyerahkan kebebasan saya pada seorang laki-laki, kehidupan pernikahan yang saya impikan itu adalah kehidupan yang minimal sama dengan yang saya jalani saat ini (secara financial) dan tidak membosankan seperti hubungan pacaran yang pernah saya jalani. Maka kedua hal itu dapat terwujud kalau saya sudah punya cukup uang dan bertemu dengan orang yang tepat. Tidak boleh hanya pilih salah satunya, karena nanti akan membuahkan anak pertanyaan lagi di kepala saya : kalau menikah dengan orang yang diinginkan, tapi tidak kaya, apakah akan bahagia? Ahahahaha.

Kalau mungkin sesudah ini saya tiba-tiba memutuskan untuk menikah cepat maka berarti saya sudah menemukan pria dengan kriteria itu, atau saya menemukan yang punya perlengkapan cukup untuk member standar kehidupan seminimal yang saya punya. Saya mungkin sedang mengalami krisis pertengahan usia menjelang 30 (agak merinding mengetiknya), ditambah dengan kehebohan keluarga dan budaya sekitar dalam rangka menyambut selesainya sekolah saya yang panjang dan urutan daftar sepupu menikah yang semakin dekat ke nama saya. Selain itu, teman-teman yang kini sedang trend tiba-tiba mengumumkan dirinya telah bertunangan, tanpa ancar-ancar, begitu pula seorang saudara perempuan imajiner yang tak sabar menunggu akhir tahun 2012 (yang rasanya baru mulai ini) untuk menyambut mimpinya segera menikah dan punya anak, menghadapi hantaman sebanyak itu, saya bukannya semakin ingin dan tak sabar untuk menikah, tapi saya malah menaikkan beberapa hal dari urutan bawah daftar prioritas saya, seperti : mengunjungi Lombok, melanjutkan sekolah spesialis, melihat teman saya yang belum pernah sama sekali punya pacar akhirnya punya pacar dan bertunangan, daaaannnn banyak lagi, selain daripada menikah dan punya anak. Rasanya saat ini saya masih terlalu egois untuk membagi jiwa raga dan kehidupan saya dengan seorang laki-laki yang hanya punya perlengkapan atau hanya tidak membosankan.

Tulisan ini saya buat tanpa bermaksud untuk membuat siapa pun yang sedang merencanakan pernikahan lalu berpikir-pikir ulang,eperti yang pernah terjadi dulu sewaktu saya mengunjungi seorang teman dan dia nyaris membatalkan pernikahannya gara-gara pernyataan saya. Tidaaak, sungguh, saya menghormati perempuan-perempuan di luar sana yang mengikuti arus “setelah lulus sekolah, setelah punya pekerjaan lalu mau tunggu apa lagi”, saya menghormati budaya ketimuran saya, saya menghormati pertanyaan papa saya yang menanyakan kapan saya dilamar, tapi saya masih tidak tau apa yang sedang saya cari saat ini dari pernikahan, juga belum tau mau mencari laki-laki yang seperti apa. Saya masih ingin memberi ruang besar bagi diri saya sendiri, dan memandangnya sebagai orang yang tidak terikat dengan peraturan apa pun. Saya pun tidak ingin menikah dan berakhir bosan, hanya karena saya tergiur dengan perlengkapan. Saya mungkin terdengar skeptis terhadap pernikahan, tapi percayalah, kehidupan ini adalah tiket sekali jalan, tidak boleh diulang-ulang meskipun membuat kesalahan adalah bagian dari pendewasaan.

Atau mungkin.. yang paling sederhana, saya hanya tidak menemukan orang yang saya inginkan. Kalau memang demikian, kenapa menikah?

naa

Saturday, February 25, 2012

badai serotonin

Dua kali saya bertemu dengan kamu. Di jalan yang sama dan waktu yang tipis-tipis sama. Di tengah gelombang manusia dan kebisingan jalanan pagi itu

Kali pertama kamu dengan kemeja hitam dan earphone hitam, menggores kontras di warna kulit putihmu. Kamu berjalan dengan mengerutkan dahi dan bibir mencibir. Durasi yang ditentukan kecepatan mobil saya dan kecepatan kamu berjalan hanya 3 detik, dalam itu saya mereka-reka kamu mau pergi kemana. Imajinasi saya tipikal manusia Jakarta jam 8 pagi : pergi kerja.

Kali kedua berpapasan, kamu dengan kemeja garis-garis dengan earphone yang sama warnanya. Di jalan yang sama, hanya saja lebih dekat ke ujung perempatan, beberapa menit setelah saya merayap berbelok ke jalanmu, waktu itu saya tanpa berpikir mengalihkan pandangan beberapa detik. Lucu, kamu juga.

Betul. Kita saling melihat.

Salah.

Karena saya tidak melihat depan.

Jalanan Jakarta selalu rapat di jam-jam begitu.

Diserempet motor itu biasa, makanan harian pengendara mobil di seluruh penjuru Jakarta. Kali kedua kita berpapasan itu, bemper depan saya diserempet entah keberapa kalinya, hari itu kamu menyelamatkan mood saya dari kehancurannya di awal hari. Setidaknya bagi saya, kamu tersenyum sama saya, dan saya membalas dengan senyum manis, meskipun kaca mobil saya 80% gelapnya. Mungkin saya gila. Tapi selama saya merasa senang, saya tidak keberatan terus berimajinasi.


“Dengan cara aneh kamu terasa manis

Saya bersandar di lengan kamu

Perasaan paling anarkis yang saya ketahui segera sesudahnya :

Kupu-kupu* tidak pernah mau pergi!”


(saya terinspirasi menulis kata kupu-kupu dari film Butterfly effect. Film hebat dimana pikiran bisa memanipulasi arus emosi dengan baik!)

Adios!

Naa