Tuesday, October 21, 2014

Pesta Rakyat

Siang terik tadi saya pergi ke Monas, berhubung hari ini pelantikan bapak presiden yang ketujuh. Sepulang kuliah yang seringkali usai terlalu pagi, untuk orang yang berjuang melek dari subuh demi tiba di kampus dengan cantik pukul tujuh, kelas yang berakhir pukul sepuluh pagi membuat semangat yang dijerang sejak subuh terasa mubazir. Jadilah saya dan dua rekan saya beriringan dengan mobil dan dua motor menuju Monas. Euforia karena the new hope seperti yang diusung majalah Times? Bukan. Kepingin makan gratis? Bukan. Ingin jalan-jalan, iya.
Judulnya pesta rakyat, sedari kecil terbiasa jadi rakyat jelata saya menerjemahkan pesta rakyat dengan arak-arakan, gerombolan manusia aneka usia, musik dangdut, aneka tukang dagang, disebar di suatu lapangan yang dialihfungsikan, seperti stadion atau lapangan pacuan kuda. Itulah yang saya lihat hari ini, dengan mengenakan setelan ala kantor (padahal saya bukan orang kantoran), saya berjalan kaki dari stasiun Gambir dimana saya menyimpan mobil, ke arah pintu Monas. Jam dua belas siang kerumunan belum ramai seperti yang saya lihat tadi di TV saat puncak acara sekitar jam delapan malam, saya berpapasan dengan macam-macam orang, macam-macam arakan, pastinya dengan pelbagai tendensi. Segerombol keluarga baru turun dari bis transjakarta, membawa paying, menenteng tas, menggenggam tangan anak-anaknya, khas dengan keringat mengalir di pelipis. Lalu saya berpapasan juga dengan remaja-remaja tanggung (tanggung panjang celananya), saya tidak tahu apakah mereka tidak sekolah atau saya salah terka usia, yang jelas mereka juga berjalan ke arah yang sama dengan saya, bedanya hanya di rok dan celana, dan usia, dan kacamata hitam (banyak juga sih).
Tapi yang saya perhatikan adalah kegembiraan di wajah-wajah mereka, entah karena bapak presiden pilihan rakyat yang berasal dari rakyat berhasil naik ke kursi pimpinan segala rakyat, atau karena janji makan gratis dan band Slank mau manggung, atau karena bisa mengedukasi anak-anaknya tentang tempat-tempat bersejarah Jakarta, pokoknya mereka gembira. Saya pun jadi ketularan gembira, padahal dalam keadaan takaran mood saya biasanya, panas hari bolong dikombinasi jalan kaki tanpa penutup kepala sudah harga mati bikin bibir mencibir. Hari ini saya senang sekali melihat macam-macam orang dan mencoba menerka alasannya bergerak dari rumah untuk datang ke Monas, menerka bagaimana bentuk rumahnya, menerka apa jenis musik kesukaannya. Terkesima juga sesekali dengan kaus yang dikenakan banyak orang saat itu, kaos bergambar bapak presiden dengan tagline untuk Indonesia baru. Terasa betul meski secuil ada harapan yang mencuat dari napas tertahan, momen ini adalah bagian dari sejarah, hari ini orang-orang ini, dan saya juga, dengan konkret merayakan penulisan sejarah bangsa. Meski secara tidak langsung karena saya awalnya hanya mau jalan-jalan ke area non-mall, non-cafe, non-parkir tarif per jam, tapi penggerak niatan tersebut adalah keberadaan pesta rakyat ini. Terminologi tepat untuk menggambarkan hari ini, rakyat berkumpul ramai-ramai, ada makanan dan musik, ada sukacita, ada alasan untuk dirayakan, bukankah itu items pesta?
Meskipun saya dan kedua teman saya hanya berkeliling radius dua ratus meter dari gerbang Monas dan akhirnya menertawakan orasi dari kelompok entah apa sambil makan sate padang dan menandas es campur duren tanpa duren, senang juga rasanya menonton orang. Kata teman saya keadaan begini juga terjadi kalau hari Minggu di Senayan, orang kumpul-kumpul mau olahraga, ada jajanan, ada musik. Tapi hari ini tentu berbeda, kata saya, tidak ada alasan magis homogen yang membuat orang segala penjuru sepakat datang. Bapak presiden rakyat hari ini resmi dilantik, itu alasan homogennya, yang magis adalah kerumunan ini meski saya tidak tahu berapa prosentasenya, ada yang hadir karena bersuka cita akan resminya bapak presiden dilantik. Buktinya ada yang orasi, buktinya ada yang pakai kaos itu. Saya menerjemahkan fenomena ini sebagai besarnya citra bapak presiden baru di mata rakyat, rakyat mana saja, meskipun yang paling ekspresif dan lebih berniat berpesta kebanyakan adalah rakyat jelata yang naik angkot, hehehehe..
Tak beberapa lama pawai dan orator perempuannya yang meneriakkan tentang harus lebih galak dari matahari, saya dan kedua teman saya memutuskan pergi lebih awal sebelum pesta rakyatnya betul-betul dimulai, apalagi abang tukang sate padang kami disuruh pergi oleh bapak satpol PP dengan alasan asapnya bikin mata orang-orang pedas, lah wong saya duduk face to face sama asap satenya baik-baik saja kok… anyway, hahaha, seperti rakyat lainnya yang tidak ikut pesta saya kuatir juga akhirnya dengan kondisi jalanan, takut macet, begitu. Saya pun berpamitan dan kembali jalan kaki menuju stasiun Gambir dengan kemeja berpunggung basah, saya melawan arus orang-orang yang semakin ramai berjalan ke arah Monas, ibu muda dengan senyum dan menenteng orok, atau pun ibu pedagang asongan tanpa gentar mendorong gerobak memburu kerumunan, semua hari ini bergerak ke titik yang sama untuk tujuan macam-macam, tapi digerakkan satu alasan bawah sadar: merayakan era baru, presiden baru dan harapan baru.
Hari saya pun diakhiri dengan pillow talk bersama pacar, not literally pillow talk as seen on movie, dia di atas kasur, saya di ubin. Di antara peluh dan sumuk dan rambut pendek saya bergumpal di leher, serta sisa-sisa bau asap rokok bercampur bau kentut dan bau minyak dari gorengan ayam sisa makan malam, pembicaraan ringan kami terasa menyenangkan, saya teringat benar juga kata orang, akan selalu ada hal yang tidak kita ketahui tentang pasangan, hal ini salah satunya. Saya tidak tahu kalau pembicaraan ringan dengan si pacar bisa membuat hati saya ikut-ikutan ringan, tanpa topik spesifik dan dua cangkir signature coffee pembicaraan ngalor-ngidul kali ini malah lebih terasa mind blowing daripada pembicaraan brainstorming yang di masa dulu saya lakukan.
Barangkali, pacar saya memang bukan lawan bicara tukang berkhayal dan banyak tanya yang lebih sering menghasilkan kernyit dahi daripada senyum malu-malu. Untuk seseorang seperti saya yang seolah-olah hidup di dimensi tukang kaji dan tidak puas, pacar saya adalah orang normal. Yang akan marah kalau saya bertindak aneh untuk alasan tidak lazim, yang tidak berdecak kagum pada pemaparan pemikiran obsesif dan sarat hal-hal destruktif. Well what are the odds? Coffee shop talking tidak lagi jadi sekte saya, brainstorming dan mempertanyakan makna hidup mulai menipis frekuensinya. Pacar saya hidup di garis bilangan masa kini, dan mau menarik saya keluar dari masa lampau. Pembicaraan ringan ini adalah manifestasinya. Normalitasnya menyadarkan saya, bahan obrolannya membuat saya tersenyum tanpa usaha. Jatuh cinta lebih mudah tanpa diupayakan.

Well. To sum up:
Hari ini rakyat berpesta
Saya dan pacar berbicara, saya bersuka cita
Selamat malam Jakarta!


naa

No comments:

Post a Comment