Siang terik tadi saya pergi ke Monas, berhubung hari ini
pelantikan bapak presiden yang ketujuh. Sepulang kuliah yang seringkali usai
terlalu pagi, untuk orang yang berjuang melek dari subuh demi tiba di kampus
dengan cantik pukul tujuh, kelas yang berakhir pukul sepuluh pagi membuat
semangat yang dijerang sejak subuh terasa mubazir. Jadilah saya dan dua rekan
saya beriringan dengan mobil dan dua motor menuju Monas. Euforia karena the new hope seperti yang diusung
majalah Times? Bukan. Kepingin makan gratis? Bukan. Ingin jalan-jalan, iya.
Judulnya pesta rakyat, sedari kecil terbiasa jadi rakyat
jelata saya menerjemahkan pesta rakyat dengan arak-arakan, gerombolan manusia
aneka usia, musik dangdut, aneka tukang dagang, disebar di suatu lapangan yang
dialihfungsikan, seperti stadion atau lapangan pacuan kuda. Itulah yang saya
lihat hari ini, dengan mengenakan setelan ala kantor (padahal saya bukan orang
kantoran), saya berjalan kaki dari stasiun Gambir dimana saya menyimpan mobil, ke
arah pintu Monas. Jam dua belas siang kerumunan belum ramai seperti yang saya
lihat tadi di TV saat puncak acara sekitar jam delapan malam, saya berpapasan
dengan macam-macam orang, macam-macam arakan, pastinya dengan pelbagai
tendensi. Segerombol keluarga baru turun dari bis transjakarta, membawa paying,
menenteng tas, menggenggam tangan anak-anaknya, khas dengan keringat mengalir
di pelipis. Lalu saya berpapasan juga dengan remaja-remaja tanggung (tanggung
panjang celananya), saya tidak tahu apakah mereka tidak sekolah atau saya salah
terka usia, yang jelas mereka juga berjalan ke arah yang sama dengan saya,
bedanya hanya di rok dan celana, dan usia, dan kacamata hitam (banyak juga
sih).
Tapi yang saya perhatikan adalah kegembiraan di wajah-wajah
mereka, entah karena bapak presiden pilihan rakyat yang berasal dari rakyat
berhasil naik ke kursi pimpinan segala rakyat, atau karena janji makan gratis
dan band Slank mau manggung, atau karena bisa mengedukasi anak-anaknya tentang
tempat-tempat bersejarah Jakarta, pokoknya mereka gembira. Saya pun jadi
ketularan gembira, padahal dalam keadaan takaran mood saya biasanya, panas hari
bolong dikombinasi jalan kaki tanpa penutup kepala sudah harga mati bikin bibir
mencibir. Hari ini saya senang sekali melihat macam-macam orang dan mencoba
menerka alasannya bergerak dari rumah untuk datang ke Monas, menerka bagaimana
bentuk rumahnya, menerka apa jenis musik kesukaannya. Terkesima juga sesekali
dengan kaus yang dikenakan banyak orang saat itu, kaos bergambar bapak presiden
dengan tagline untuk Indonesia baru. Terasa betul meski secuil ada harapan yang
mencuat dari napas tertahan, momen ini adalah bagian dari sejarah, hari ini
orang-orang ini, dan saya juga, dengan konkret merayakan penulisan sejarah
bangsa. Meski secara tidak langsung karena saya awalnya hanya mau jalan-jalan
ke area non-mall, non-cafe, non-parkir tarif per jam, tapi penggerak niatan
tersebut adalah keberadaan pesta rakyat ini. Terminologi tepat untuk
menggambarkan hari ini, rakyat berkumpul ramai-ramai, ada makanan dan musik,
ada sukacita, ada alasan untuk dirayakan, bukankah itu items pesta?
Meskipun saya dan kedua teman saya hanya berkeliling radius
dua ratus meter dari gerbang Monas dan akhirnya menertawakan orasi dari
kelompok entah apa sambil makan sate padang dan menandas es campur duren tanpa
duren, senang juga rasanya menonton orang. Kata teman saya keadaan begini juga
terjadi kalau hari Minggu di Senayan, orang kumpul-kumpul mau olahraga, ada
jajanan, ada musik. Tapi hari ini tentu berbeda, kata saya, tidak ada alasan
magis homogen yang membuat orang segala penjuru sepakat datang. Bapak presiden
rakyat hari ini resmi dilantik, itu alasan homogennya, yang magis adalah
kerumunan ini meski saya tidak tahu berapa prosentasenya, ada yang hadir karena
bersuka cita akan resminya bapak presiden dilantik. Buktinya ada yang orasi, buktinya
ada yang pakai kaos itu. Saya menerjemahkan fenomena ini sebagai besarnya citra
bapak presiden baru di mata rakyat, rakyat mana saja, meskipun yang paling
ekspresif dan lebih berniat berpesta kebanyakan adalah rakyat jelata yang naik
angkot, hehehehe..
Tak beberapa lama pawai dan orator perempuannya yang
meneriakkan tentang harus lebih galak dari matahari, saya dan kedua teman saya
memutuskan pergi lebih awal sebelum pesta rakyatnya betul-betul dimulai,
apalagi abang tukang sate padang kami disuruh pergi oleh bapak satpol PP dengan
alasan asapnya bikin mata orang-orang pedas, lah wong saya duduk face to face
sama asap satenya baik-baik saja kok… anyway, hahaha, seperti rakyat lainnya
yang tidak ikut pesta saya kuatir juga akhirnya dengan kondisi jalanan, takut
macet, begitu. Saya pun berpamitan dan kembali jalan kaki menuju stasiun Gambir
dengan kemeja berpunggung basah, saya melawan arus orang-orang yang semakin
ramai berjalan ke arah Monas, ibu muda dengan senyum dan menenteng orok, atau
pun ibu pedagang asongan tanpa gentar mendorong gerobak memburu kerumunan, semua
hari ini bergerak ke titik yang sama untuk tujuan macam-macam, tapi digerakkan
satu alasan bawah sadar: merayakan era baru, presiden baru dan harapan baru.
Hari saya pun diakhiri dengan pillow talk bersama pacar, not
literally pillow talk as seen on movie, dia di atas kasur, saya di ubin. Di
antara peluh dan sumuk dan rambut pendek saya bergumpal di leher, serta
sisa-sisa bau asap rokok bercampur bau kentut dan bau minyak dari gorengan ayam
sisa makan malam, pembicaraan ringan kami terasa menyenangkan, saya teringat
benar juga kata orang, akan selalu ada hal yang tidak kita ketahui tentang
pasangan, hal ini salah satunya. Saya tidak tahu kalau pembicaraan ringan
dengan si pacar bisa membuat hati saya ikut-ikutan ringan, tanpa topik spesifik
dan dua cangkir signature coffee pembicaraan ngalor-ngidul kali ini malah lebih
terasa mind blowing daripada pembicaraan brainstorming yang di masa dulu saya
lakukan.
Barangkali, pacar saya memang bukan lawan bicara tukang
berkhayal dan banyak tanya yang lebih sering menghasilkan kernyit dahi daripada
senyum malu-malu. Untuk seseorang seperti saya yang seolah-olah hidup di
dimensi tukang kaji dan tidak puas, pacar saya adalah orang normal. Yang akan
marah kalau saya bertindak aneh untuk alasan tidak lazim, yang tidak berdecak
kagum pada pemaparan pemikiran obsesif dan sarat hal-hal destruktif. Well what
are the odds? Coffee shop talking tidak lagi jadi sekte saya, brainstorming dan
mempertanyakan makna hidup mulai menipis frekuensinya. Pacar saya hidup di
garis bilangan masa kini, dan mau menarik saya keluar dari masa lampau. Pembicaraan
ringan ini adalah manifestasinya. Normalitasnya menyadarkan saya, bahan
obrolannya membuat saya tersenyum tanpa usaha. Jatuh cinta lebih mudah tanpa
diupayakan.
Well. To sum up:
Hari ini rakyat berpesta
Saya dan pacar berbicara, saya bersuka cita
Selamat malam Jakarta!
naa
No comments:
Post a Comment