Sunday, April 22, 2012

personal religion

Assalamualaikum!

Ini adalah kumpulan tulisan saya selama saya pergi :

Pergi mengetuk pintu-Nya, mari kita umpamakan yang demikian, untuk menceritakan pengalaman perjalanan saya 9 hari yang lalu.

Perjalanan dimulai dari daratan Asia nyaris Eropa dengan penerbangan 13 jam. Lalu dua hari kemudian terbang lagi 3 jam mendekat ke rumah-Nya.

Touch down Madinah setelah 4 jam (lagi) teronggok, malam hari dan hujan, mama saya bilang daratan gersang ini jarang hujan. Mungkin ini penyambutan, saya pikir.

Bangun subuh pertama (yang tersulit) di kota rasul-Nya, dengan mata masih setengah terpicing, berjalan dalam iringan dua warna mayoritas, hitam dan putih. Dan saya bengong habis-habisan, mulai dari masuk gerbang sampai duduk di dalam. Bagaimana ya menggambarkannya? Yah persis seperti yang ada di foto. Tapi perasaan yang saya catat waktu itu, kita ini si dungu kecil di tengah pengawasan-Nya. Tidak ada keharusan untuk bersombong, kita ini telanjang, tinggi hati hanya akan jadi tertawaan. Dan saya tunduk, 5 kali sehari bergerak dalam iringan warna dan bahasa yang plural, berdesakan dan mengurut kesabaran semakin panjang digitnya, saya bisa merasakan perlahan-lahan saya tidak terlalu mengeraskan rahang dan mengernyitkan dahi untuk menahan emosi. Nanti di Mekah lebih ramai mulai terbiasalah, kata mama saya. Saya menelan ludah 3 kali.

Setelah 3 hari banyak bengong habis-habisan di mesjid Nabawi (terutama setiap kali menunggu isya melihat atapnya yang canggih itu terbuka dengan sistem elektrik), saya pun duduk di dalam bis bergerak menuju Mekah, rumah-Nya itu bagaimana ya?

Pesan mama (yang merangkap jadi pemandu wisata spiritual personal saya), jangan sembarangan ngomong, nanti jadi doa, lagi-lagi saya menelan ludah, menggigit lidah dan mengunci bibir, watch your mouth, Na!

Sepanjang perjalanan itu ada pak ustadz yang menjelaskan macam-macam, saya tidak terlalu fokus mendengarkan karena sibuk bengong dan menerka-nerka, saya mencatat satu hal : di setiap tempat di tanah-Nya, bersujudlah seakan engkau melihat-Nya, memohonlah pada-Nya dan Ia akan kabulkan (suara hati saya : kurang baik apa lagi, coba?)

Touch down Mekah. Tanpa basa-basi jam 12 malam bergerak ke mesjid menyelesaikan ritual umroh. “Semoga mendapatkan apa yang dicari..” *mengutip kata-kata yang rajin membalas email saya. Apa yang saya cari? : permintaan, pertanyaan, jawaban, protes, usulan, persetujuan, argumentasi, perintah, kesempatan bicara langsung dan porsi paling besar: pengampunan! Di depan pintu-Nya, mengetuk, bukan sekedar mengintip, tapi masuk, menonton dan datang bersujud habis-habisan. Saya ingat saya lupa pilihan kata-kata waktu pertama kali melihat Ka’bah dan diinstruksikan untuk berdoa di depan pintunya. Mula-mula, terbata-bata bilang ampun ya, yang Maha Baik ; amin (diulang berkali-kali di bibir, sementara doanya muntah keluar lewat bahasa telepati tanpa urutan prioritas, dan diulang berkali-kali karena tidak ingat sudah diceritakan atau belum) ; asalamualaikum (teringat tadinya belum bilang salam di pintu masuk, saking takut salah dan merasa seperti orang kampung datang bertamu). Semuanya jadi kacau! Seperti saya tidak pernah berbicara sebelumnya dan itu terdengar lucu kalau saja rangkaian kalimat-kalimat itu bukan saya minta pada-Nya. Sudahlah, Ia selalu tau apa isi kepala saya tanpa perlu meluncurkan huruf mulut. Dengan ingus yang terpaksa dilap ke jilbab dan air mata yang jatuhnya tidak pakai interval, saya pikir saat itu saya melihat-Nya dan Ia mengiyakan doa saya yang diselingi kalimat “aduh, mohon maaf kalau kata-kata saya berantakan dan saya bingung mau bilang apa lagi”. Begitulah. Berganti hari selama 5 hari (saya tidak terlalu ingat menghitung), perasaan yang berbeda dan pengalaman baru setiap hari. Saya tidak banyak menulis, karena hari-hari saya di sana di antara kamar hotel dan mesjid, dan entah kenapa selalu sering tertidur dimana-mana.

Di perjalanan di bis menuju Mekah, saya mencatat jawaban saya sendiri waktu teman saya bertanya apakah saya akan pakai jilbab sesudah pulang nanti. Hehehe, saya belum bisa langsung pakai hijab dengan alasan yang kalau saya tulis di sini bisa dengan mudah dibantah dan dipertanyakan, tapi perjalanan ini seperti membenturkan jidad saya ke meja di hadapan-Nya seperti yang selalu saya khayalkan kalau kesal bicara sama orang yang suka ngeyel (dan begitulah saya merasa saat itu), disodorkan bukti bahwa ia berkuasa dan saya ini hanya super duper partikel mikro yang sok berpikir sebesar benua Amerika, bukan dalam arti negatif, tapi dalam artian yang : seperti prinsip saya selama ini seeing is believing yang terdengar angkuh akhirnya dijawab. Nih buktinya! (*seperti yang diucapkan di iklan)

Tentu ada mimpi kecil suatu hari dapat menjalani kehidupan tentram berhijab seperti yang saya tontoni di masjid-masjid, tapi saat ini keluarbiasaan perasaan yang saya telan dari setiap episode perjalanan ini membuat saya tertunduk dan mengerti mengapa Ia panggil saya. Untuk ‘melihat-Nya’, untuk menghiraukan-Nya, untuk mempercayai segala pemberiannya yang datang dalam bentuk seaneh apa pun, tanpa banyak tanya!

Dan bagi saya sekarang, agama-Nya memang sederhana. Iman pada-Nya memang hubungan yang mutlak personal, tapi perintah-Nya pun mutlak biarpun kadang-kadang stressing dari kalimat barusan sering tidak saya dengarkan. (Tapi yah, ada hal-hal yang memang tidak akan saya capai dengan logika babi saya, pertanyaan kenapa harus ini? Kenapa tidak cukup dengan percaya dan tunduk dan berbuat baik? ) sebelum-sebelumnya saya tidak mengerti, lalu tiba-tiba --biarpun saya masih bawa pulang PR untuk belajar mengerti—saya merasa ikhlas mengikuti perintah-Nya, Ia selalu bersabar menunggu saya minta ampun dan terus mengabulkan permintaan saya tanpa ada alasan yang bisa saya mengerti, saya pun harus bersabar dan mengikuti perintah-Nya meskipun tanpa ada alasan yang saya mengerti dengan pikiran kecil saya ini. Semua menjadi logika yang lebih sederhana.

Lalu saya teringat kata-kata si pak ustad berbulu mata panjang tapi jarang-jarang itu, yang menjadi pemandu (atau bahasa arabnya mutowif *don’t know the spell) : “biarpun uang kita banyak, kalau belum dipanggil tentu kita tidak bisa datang ke sini.” Lagi, tamparan di muka! Great saying Pak ustad! I don’t realize that i was so lucky!

Oh, tidak lupa dalam perjalanan menuju Mekah itu (dimana saya tidak tertidur lama karena terlalu deg-degan) saya tetap menganggap bahwa menjadi sopir bus atau truk itu pekerjaan yang keren. Riding that huge and long vehicle! Saya harus mencoba suatu hari menyopir bus, noted!

Dan perjalanan ditutup dengan penerbangan 9 jam, bangun-tidur-bangun-tidur-makan-toilet-tidur-makan-angkat-angkat barang-tidur seharian di rumah. Touch down Jakarta.

Sekian. Haslah (*again, don’t now the spell)

naa

No comments:

Post a Comment