"Aku lewat jalan rumahmu magrib tadi
Masih dengan keramaian jalanan kampung yang biasa
Mataku masih jatuh pada ban mobil tetanggamu yang sama
Yang sudah kulakukan sejak 3 tahun yang lalu
Aku ingat melewati jalan ini dengan berganti-ganti perasaan
Saat-saat aku marah atau lega
Saat-saat mengumpat dan bermulut binatang
Ada waktu aku berdebar-debar akan bertemu keluargamu
Ada waktu kita pernah saling berteriak selama melintas jalan itu
Lebih banyak lagi waktu perasaanku kacau balau
Aku lewat jalan rumahmu magrib tadi
Sudah banyak perubahan di sana-sini
mataku sudah menatap rumah-rumah yang mulai pudar catnya
yang dulu sering kuperhatikan sejak 3 tahun yang lalu
aku masih ingat rasanya lewat jalan itu lagi tadi
saat-saat aku tidak lagi berbelok ke arah rumahmu
saat-saat aku hanya melihatnya sekilas lewat spion tengahku
ada waktu aku menangis teringatmu saat melintas di sana
ada waktu aku lebih banyak menghindar dan memilih memutar
tapi tadi aku tidak melakukan itu
waktu-waktu yang berat sudah berlalu
dan aku cukup lega kita pura-pura saling tidak tau
setiap kali kita berpapasan di jalan itu"
Selamat tengah malam, folks,
ini adalah puisi yang saya tulis (kalau tidak salah) tiga tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah melewati periode hidup yang saya sebut "The Broken Brain". Ada saat-saat logika runtuh dan otak sepertinya sedang rusak, dan ada yang bilang itu namanya sedang cinta karena cinta tidak bisa pakai otak (mengutip anekdot umum). Saya berani traktir baso moncrot di dekat rumah saya kalau ada orang yang tidak pernah melewati fase ini. karena kita semua rasanya pernah tergila-gila, dalam level dari 1 sampai 1000.
1000 artinya tidak waras, 1 sampai 10 bagi saya masih wajar. saya pernah di 900, yang saya maknai : tidak ada orang lain yang saya sayangi dalam hidup saya saat itu yang mampu membuat saya menangis hampir setiap hari.
Kalau kamu?
naa
sepertinya hampir sama, walaupun bukan karena tiga tahun berlalu tanpanya, tapi karena kelakuannya dari saat itu sampai detik ini
ReplyDelete