Thursday, December 8, 2011

pertanyaannya

siapa pernah bertepuk sebelah tangan? Siapa yang tidak pernah? Duduk meratap menunggu seperti si punguk merindukan bulan. Menangisi apa pun yang pernah lewat dengan manisnya. Saya teringat kamu yang tengah malam menangis dan bercerita, bersakitan menggandeng tangan saya mengenang yang pernah di depan mata.

Saya juga ingin duduk dan menutup mata, ikut terseret dalam perasaan. Logika seharusnya lebih mudah daripada kecewa, bila diminta mengenang yang pernah lewat di depan mata.

Keikhlasan itu khayalan. Pencapaian tertinggi setiap pencitraan. Kita selalu lelah bila berkejaran, lalu kita berbalik dan menyerah pada Tuhan. Saya ingin bicara, dengan setiap bahasa hati terinci yang mampu saya gunakan.

Kehabisan pertanyaan yang minim jawaban, kebingungan dalam ambigu personal. Bagaimana menjelaskan perasaan yang tidak bersambut tangan? Menyertakan kelegaan dalam pandangan pada apa-apa yang pernah dikenang. Saya ingin diberitahu untuk kesekian kalinya, setelah alpa dari duka yang disematkan di depan mata. Mengapa mimpi tidak pernah sejalan dengan kenyataan?

Mengapa kamu, saya, kita, bertanya?

Saya ingin, dalam cameo bagi pentas kehidupan saya, menjadi satu kali saja sempurna. Baginya, bagi perasaan yang dulu saya tinggalkan. Bagi setiap air mata yang ingin saya ulang turunnya.

Di dalam sana di kepala saya, berkali-kali saya menulis ‘ini untuk terakhir kalinya’, namun saya masih jauh dari garis akhir khayal. Saya masih menutup mata, bicara dan bertanya. Mengenangnya dalam sesal yang terang-terangan.

Sesekali saya pikir saya punya jawaban.

Saya mengenangnya.

Saya merindukannya sepenuhnya.

naa

untuk teman, yang kerap menangis di tengah malam karena terkenang yang sudah lewat

No comments:

Post a Comment