Folks,
Saya bertanya sama teman saya. Menurutnya, hujan itu
perempuan atau laki-laki? Dia, mungkin ingin bercanda menanggapi saya yang
sedang kebosanan bilang kalau hujan itu banci, dan teman saya ini homophobic,
makanya dia benci banci dan menganalogikan hujan itu adalah banci. (No offense!
Sungguh!) saya tergelak sendiri membaca bbm-nya, saya pun berpikir sendiri.
Menurut saya, hujan itu perempuan. Karena tidak bisa
ditebak. Kadang-kadang bisa, kalau langit memberi petunjuk, tapi lebih banyak
tidak. Perempuan pun sulit ditebak, tidak ada layarnya seperti handphone atau
laptop, tidak ada alarm nya seperti jam weker dan tidak ada lampu seinnya
seperti mobil.
Hari ini hujan mengawali hari saya. Hujan deras turun
sekitar jam 11 siang, 3 jam setelah saya sadar penuh dan membuka mata pagi
hari, hujan deras turun sewaktu saya sedang nemplok di ubin dan membaca novel
feminis yang tidak bisa tidak saya baca. Padahal saya ada janji kencan hari
ini, dan dia terlambat dan saya yakin, hujan akan makin melambatkan
perjalanannya. Lalu saya balas bbm teman saya, tidak boleh benci hujan karena
hujan itu rejeki. Hujan itu perempuan, dan perempuan itu rejeki. Perempuan datang
ke kehidupan dunia ini sebagai penggenap, karena nabi Adam dihitung satu,
ditambah Siti Hawa maka akan jadi dua, bilangan yang genap.
Menurut teman saya yang suka sekali menonton film dan saya
nikmati sesi bicara dengannya karena saya juga suka mengkalibrasikan momen saya
dengan adegan-adegan film, hujan selalu membawa suasana sedih dan membuat
pemeran filmnya matanya berkaca-kaca. Betul, perempuan memang begitu, sering
sekali berkaca-kaca atau membuat orang berkaca-kaca matanya. Mungkin karena saraf
otonom perempuan yang terhubung ke kelenjar air mata didisain secara fungsional
untuk lebih responsif. Responsif, sebelas dua belas dengan cengeng. Lalu saya
bilang, saya mau mandi hujan, pasti menyenangkan, dan teman saya melarang,
jangan! Nanti sakit. Lagi-lagi, betul juga kata teman saya, perempuan memang
kadang-kadang membuat sakit. Sakit hati karena patah hati, sakit jiwa karena
ditinggal mati atau sakit-sakit lainnya.
Waktu saya berangkat mau pergi makan sushi, langit sedang
cerah. Langit sore yang bukan favorit saya, tapi setidaknya tidak menambah teror
macet Jakarta hari minggu karena tidak menurunkan hujan. Begitu pula langit
malam ketika saya berkendara ke warung kopi kesayangan di daerah Cikini, saya
pikir hujan tidak akan mendatangi saya lagi. Lalu menjelang jam pulang malam
saya, di salah satu rute jalan pulang saya di daerah Pasar Rumput, ada
bekas-bekas hujan. Ah. Perempuan yang tidak bisa ditebak, tadi dia datang
dengan keanggunannya, lalu tiba-tiba tanpa tanda dia meninggalkan aromanya di
jalanan yang menjadi licin. Seperti itulah kedatangan perempuan di dalam hidup
seseorang lelaki, kadang-kadang tiba-tiba seperti jatuh dari langit, lalu
kadang-kadang tanpa aba-aba pergi begitu saja tanpa pemberitahuan. Saya mungkin
adalah hujan yang dikutuk lelaki baik hati yang baru saja angkat kaki dari
sejarah carut marut hidup saya.
Lalu di kemacetan yang tidak saya perkirakan akibat resepsi
akbar di suatu gedung yang jaraknya 500 meter dari Pancoran, yang membuat saya
terpaksa pasrah kalau saya harus kembali menaikkan amarah mama saya dan
mengemban cap anak yang tidak bisa dibilangin, hujan sebenarnya tidak turun di
situ, tapi saya masih membawanya di dalam pikiran saya. Perempuan pun
mengekspresikan hatinya seperti hujan. Saat gembira seperti langit yang terang,
perempuan menangis haru, hujan bisa saja turun, lalu saat kesal dan marah
seperti langit yang penuh amarah dan muntah kilatan, hujan jelas turun
menyandingi badai. Perempuan jelas menangis saat bersedih dan penuh amuk,
setidaknya di dalam hatinya.
Jadi, bagi saya, hujan itu perempuan. Saya mencintai hujan. Saya
mencintai perempuan, saya mencintai mama saya
yang sekarang dengan penuh keposesifan mengabsen saya setiap jam 7 malam
dan menyuruh pulang, meskipun sulit betul meredam kekesalan polos sebagai
perempuan muda berusia 24 tahun yang jadi merasa diperlakukan seperti ABG 17
tahun, saya menerimanya sebagai wujud rejeki saya karena saya masih
diperhatikan, dicintainya sebagai kembang kesayangannya. Mama adalah hujan,
hujan yang kalau turun akan selalu bikin mobil-mobil melambat dan sumbatan
total di jalanan jakarta yang akan membuat telapak kaki kiri saya mencium pedal
kopling penuh nafsu dan menguji kesabaran saya, tapi saya menyukai hujan karena
hujan adalah rejeki, tanpanya tidak akan tumbuh padi atau gandum sehingga
menghambat saya makan nasi goreng atau roti bakar.
naa
Mandi hujan pun adalah inspirasi saya untuk terobsesi punya
rumah sendiri yang kamar mandinya akan dipasangi rain shower.