Sunday, May 6, 2012

hujan adalah perempuan

Folks,

Saya bertanya sama teman saya. Menurutnya, hujan itu perempuan atau laki-laki? Dia, mungkin ingin bercanda menanggapi saya yang sedang kebosanan bilang kalau hujan itu banci, dan teman saya ini homophobic, makanya dia benci banci dan menganalogikan hujan itu adalah banci. (No offense! Sungguh!) saya tergelak sendiri membaca bbm-nya, saya pun berpikir sendiri.
Menurut saya, hujan itu perempuan. Karena tidak bisa ditebak. Kadang-kadang bisa, kalau langit memberi petunjuk, tapi lebih banyak tidak. Perempuan pun sulit ditebak, tidak ada layarnya seperti handphone atau laptop, tidak ada alarm nya seperti jam weker dan tidak ada lampu seinnya seperti mobil.
Hari ini hujan mengawali hari saya. Hujan deras turun sekitar jam 11 siang, 3 jam setelah saya sadar penuh dan membuka mata pagi hari, hujan deras turun sewaktu saya sedang nemplok di ubin dan membaca novel feminis yang tidak bisa tidak saya baca. Padahal saya ada janji kencan hari ini, dan dia terlambat dan saya yakin, hujan akan makin melambatkan perjalanannya. Lalu saya balas bbm teman saya, tidak boleh benci hujan karena hujan itu rejeki. Hujan itu perempuan, dan perempuan itu rejeki. Perempuan datang ke kehidupan dunia ini sebagai penggenap, karena nabi Adam dihitung satu, ditambah Siti Hawa maka akan jadi dua, bilangan yang genap.
Menurut teman saya yang suka sekali menonton film dan saya nikmati sesi bicara dengannya karena saya juga suka mengkalibrasikan momen saya dengan adegan-adegan film, hujan selalu membawa suasana sedih dan membuat pemeran filmnya matanya berkaca-kaca. Betul, perempuan memang begitu, sering sekali berkaca-kaca atau membuat orang berkaca-kaca matanya. Mungkin karena saraf otonom perempuan yang terhubung ke kelenjar air mata didisain secara fungsional untuk lebih responsif. Responsif, sebelas dua belas dengan cengeng. Lalu saya bilang, saya mau mandi hujan, pasti menyenangkan, dan teman saya melarang, jangan! Nanti sakit. Lagi-lagi, betul juga kata teman saya, perempuan memang kadang-kadang membuat sakit. Sakit hati karena patah hati, sakit jiwa karena ditinggal mati atau sakit-sakit lainnya.
Waktu saya berangkat mau pergi makan sushi, langit sedang cerah. Langit sore yang bukan favorit saya, tapi setidaknya tidak menambah teror macet Jakarta hari minggu karena tidak menurunkan hujan. Begitu pula langit malam ketika saya berkendara ke warung kopi kesayangan di daerah Cikini, saya pikir hujan tidak akan mendatangi saya lagi. Lalu menjelang jam pulang malam saya, di salah satu rute jalan pulang saya di daerah Pasar Rumput, ada bekas-bekas hujan. Ah. Perempuan yang tidak bisa ditebak, tadi dia datang dengan keanggunannya, lalu tiba-tiba tanpa tanda dia meninggalkan aromanya di jalanan yang menjadi licin. Seperti itulah kedatangan perempuan di dalam hidup seseorang lelaki, kadang-kadang tiba-tiba seperti jatuh dari langit, lalu kadang-kadang tanpa aba-aba pergi begitu saja tanpa pemberitahuan. Saya mungkin adalah hujan yang dikutuk lelaki baik hati yang baru saja angkat kaki dari sejarah carut marut hidup saya.
Lalu di kemacetan yang tidak saya perkirakan akibat resepsi akbar di suatu gedung yang jaraknya 500 meter dari Pancoran, yang membuat saya terpaksa pasrah kalau saya harus kembali menaikkan amarah mama saya dan mengemban cap anak yang tidak bisa dibilangin, hujan sebenarnya tidak turun di situ, tapi saya masih membawanya di dalam pikiran saya. Perempuan pun mengekspresikan hatinya seperti hujan. Saat gembira seperti langit yang terang, perempuan menangis haru, hujan bisa saja turun, lalu saat kesal dan marah seperti langit yang penuh amarah dan muntah kilatan, hujan jelas turun menyandingi badai. Perempuan jelas menangis saat bersedih dan penuh amuk, setidaknya di dalam hatinya.
Jadi, bagi saya, hujan itu perempuan. Saya mencintai hujan. Saya mencintai perempuan, saya mencintai mama saya  yang sekarang dengan penuh keposesifan mengabsen saya setiap jam 7 malam dan menyuruh pulang, meskipun sulit betul meredam kekesalan polos sebagai perempuan muda berusia 24 tahun yang jadi merasa diperlakukan seperti ABG 17 tahun, saya menerimanya sebagai wujud rejeki saya karena saya masih diperhatikan, dicintainya sebagai kembang kesayangannya. Mama adalah hujan, hujan yang kalau turun akan selalu bikin mobil-mobil melambat dan sumbatan total di jalanan jakarta yang akan membuat telapak kaki kiri saya mencium pedal kopling penuh nafsu dan menguji kesabaran saya, tapi saya menyukai hujan karena hujan adalah rejeki, tanpanya tidak akan tumbuh padi atau gandum sehingga menghambat saya makan nasi goreng atau roti bakar.


naa

Mandi hujan pun adalah inspirasi saya untuk terobsesi punya rumah sendiri yang kamar mandinya akan dipasangi rain shower.

No comments:

Post a Comment