Aku pikir hati adalah benda yang paling jujur di antara
lidah, otak atau pun mata. Hati bukan hati yang dimaksud di pelajaran anatomi,
tapi hati adalah gaungan perasaan yang disimbolkan dengan bentuk hati dan
ditempatkan salah kaprah di sela iga, dimana jantung semestinya. Lalu seseorang
bilang kaki adalah yang paling jujur. Kaki akan membawa kemana pun keinginan
paling dasar yang diminta hati.
Kaki membawaku ke banyak pintu. Pintu dengan aneka ruas dan
kejutan, pintu yang akan menghamburkan cahaya saat dicoba diterawang. Pintuku
sudah banyak kuterobos, beberapa kali isinya hanya ruang hitam sebesar bioskop,
beberapa isinya labirin, malah ada yang transparan; sewaktu dibuka malah
menembus pintu lain.
Hari ini kakiku membawaku pada pintu punyamu. Pintu aneh
dengan dua daun tapi gagal salah satunya, pintu yang berukuran pendek. Kupikir
aku harus menunduk untuk melewatinya.
Lalu pernahkah membuka pintu dan merasa pernah di suatu
momen kehidupan merasakan bahwa pernah membuka pintu yang persis sama? Itulah
pikiran pertama yang menabrakku sewaktu akan membuka pintumu.
Buka? Tidak? Kalau dibuka, isinya apa? Mungkin hadiah, jadi
ini pintu rezeki. Mungkin isiny kloset, jadi ini pintu toilet. Mungkin isinya
mobil, jadi ini pintu garasi. Ah, mati berspekulasi, tanpa basa-basi kuterobos
pintumu tanpa peduli bisa saja ada monster bersembunyi di balik situ.
Dor! Kok isinya cermin? Ini pintu ruang ganti perempuan. Kok
hari ini kakiku membawa ke sana? Aku teringat pernah mematut-matut diri mencoba
baju-baju baru dan berputar di depan kaca di ruangan semacam ini, dan menyadari
badanku tidak sebagus itu, malah lebih melotot lagi kalau di ruang ganti dengan
tiga cermin.
Jadi pintu ini pintu ruang ganti, dan aku harus masuk dan
menontoni bayanganku sendiri? Kaki, apakah hari ini kamu akhirnya berbohong? Aku
menoleh pada kaki, bergantian dengan bayangannya. Sama bantetnya, pikirku, tapi
kakiku jujur. Sejujur tangan, perut dan lengan atas. Apa yang musti ditutupi? Apa
yang musti ditakuti? Mereka tidak bertaring, mereka tidak mengata-ngatai balik
orang-orang yang mengatai mereka gemuk, mereka hanya berfungsi tanpa cacat.
Lalu aku melengos menatap pipi, dan teringat kata-katamu
tentang pipi. Pipi dinamai pipi karena ada dua, dan suku kata pi-pi pun kembar,
pipi mungkin mengkembung seiring banyaknya makanan yang ditelan, tapi pipi
tidak pernah mengkhianatiku saat tersenyum. Pipi tidak pernah tiba-tiba copot
dan lari kabur kalau dikatai serupa bapao, pipi bahkan lebih setia menemani
sampai mati dari pada pacar yang bersumpah setia. Jadi, pipi juga jujur,
sejujur paha, kaki, lengan dan perut. Mereka berfungsi. Mereka bukan benda mati
yang bisa dikatai jelek, lah wong berfungsi kok?
Oke. Sudah di ruang ganti dan sudah bercermin, sekarang apa?
Berputar-putar? Tersenyum-senyum bodoh? Seandainya
mulut tidak berganda saat menjelek-jelekkan kaki, paha, perut dan lengan, tentu
bayangan mereka tidak pernah membuatku mengerenyitkan alis.
Lalu, kenapa kaki membawa ke tempat ini? Kurasa karena kaki
ingin aku bercermin, saat semua mulut dikunci di luar ruang ganti ini, dan
kuamati ruangan yang cerminnya lebar-lebar ini, lalu mengerti mengapa pintunya
kecil lalu setelah berhasil melewati pintu, ruangannya baru terasa lebar.
Begitulah kita selalu memandangi diri kita, kecil sekali. Saat bercermin,
banyak yang disadari sudah terluput, setengah jam bercermin sambil berpikir
baru menyadari bahwa diri yang sempurna tidak pernah dinilai dari bentuk atau
ukuran, tetapi dari fungsi dan pencitraanku sendiri. Makanya, hari ini ada
cermin di dalam ruang ganti, supaya bisa jujur, sejujur kaki.
naa
No comments:
Post a Comment